JAKARTA — Penguatan mata uang Euro setelah meredanya kisruh di Italia dan penilaian positif dari lembaga keuangan asing bahwa penguatan dolar AS terhadap Rupiah tidak berlangsung lama mendorong penguatan rupiah. Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antar bank Senin (4/6), tadi pagi menguat 24 poin menjadi Rp13.872.
Menurut Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada , Morgan Stanley menuturkan US Treasury 10 tahun sepertinya tidak akan bertahan di atas 3 persen dan akan turun ke 2,85 persen pada kuartal keempat 2018 dan ke 2,75 persen pada kuartal kedua 2019.
Hanya saja Reza menyebutkan, adanya rilis pertumbuhan data ketenagakerjaan AS dan penurunan tingkat pengangguran AS diperkirakan dapat membuat laju dolar AS kembali menguat sehingga menahan potensi kenaikan lanjutan rupiah. Rupiah diestimasikan akan bergerak dengan kisaran support Rp13.910 per dolar AS dan resisten Rp13.820 per dolar AS.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finace (INDEF) Bhima Yudistira Adinegara mengatakan, penguatan itu masih bersifat temporer. Tekanan global bisa kembali melemahkan rupiah, seperti perang dagang.
Uni Eropa membawa kasus tarif bea masuk impor AS ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organitation (WTO). Selain Uni Eropa, Kanada dan Meksiko telah mendapatkan penangguhan sementara atas bea impor yang telah diberlakukan Trump sejak beberapa bulan silam.
Sebaliknya menurut Bhima, negara-negara anggota Uni Eropa mengancam menaikkan tarif impor beberapa produk AS seperti bourbon dan motor Harley Davidson. Sementara Meksiko dan Kanada meningkatkan bea masuk jeruk AS hingga daging babi.
Faktor global lainnya OPEC juga berencana melakukan peningkatan produksi dan membuat harga minyak jatuh.
“Di dalam negeri ekspor CPO Kelapa Sawit pada kuartal I secara tahunan atau year on year surut tajam sebesar 17 persen.
Turunnya ekspor memberikan risiko menurunkan permintaan rupiah di pasar valas sekaligus memperbesar defisit perdagangan serta defisit transaksi berjala,” ujar Bhima ketika dihubungi Peluang.
Dalam catatan Bank Indonesia defisit transaksi berjalan pada triwulan I 2018 tercatat sebesar 5,5 miliar dolar AS atau 2,1%
terhadap PDB (Van/Antara)