hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Tarif Cukai Disederhanakan, Rokok Ilegal Merajalela

Dari dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) 2025 diketahui rencana pemerintah melakukan intensifikasi kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT). Salah satunya melalui penyederhanaan layer atau struktur tarif cukai. Penyederhanaan tarif cukai itu dianggap akan membuat konsumen yang terbebani kenaikan harga berpotensi lari ke pasar rokok ilegal.

Penyederhanaan tarif cukai tersebut akan membuat produsen besar mendominasi pasar, sehingga hanya rokok dengan harga yang relatif mahal saja yang akan tersedia. “Harga rokok (legal) dari Rp25 hingga Rp30.000 dibanding (rokok ilegal) yang Rp10 hingga Rp15.000. Kebijakan itu akan sangat menurunkan minat terhadap rokok legal,” ucap akademisi Universitas Padjajaran, Wawan Hermawan. Menurut dia, dengan adanya tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat, banyak perokok yang mencari alternatif lebih murah untuk tetap memenuhi kebiasaan mereka.

Situasi ini akan meningkatkan konsumsi rokok ilegal maupun sigaret kretek tangan (SKT). Terlebih, jumlah perokok di kalangan pendapatan rendah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perokok di kalangan penghasilan menengah tinggi.
“Menurut saya, yang utama adalah harga rokok yang sangat tinggi, juga dibarengi oleh budaya rokok sebagai alat sosial di masyarakat,” kata dia. “Selain itu, penegakan hukum terhadap produsen rokok juga masih lemah,” ujar Wawan.

Terkait data rokok ilegal, survei yang dilakukan oleh Indodata selama periode 13 Juli hingga 13 Agustus 2020 di 13 kota provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa 28,12 persen dari 2.500 responden di Indonesia mengonsumsi rokok ilegal. Direktur Eksekutif Indodata, Danis TS Wahidin, menyebut bahwa survei itu dilakukan untuk mengkaji hubungan antara tingginya cukai rokok resmi dan peredaran rokok ilegal. Kenaikan harga rokok, kata dia, memengaruhi perilaku perokok, tapi tidak berhenti merokok.

“Yang terjadi adalah peralihan dari rokok premium ke rokok standar, bahkan masyarakat perokok itu berpindah menjadi mengonsumsi rokok ilegal,” tutur Danis. Ia menambahkan, jika konsumsi rokok ilegal tersebut dikonversi dengan pendapatan negara yang hilang, angkanya bisa mencapai Rp53,18 triliun. Temuan tersebut menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal masih menjadi masalah serius.  “Hanya dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, masalah ini dapat diatasi secara efektif demi kesejahteraan ekonomi dan kesehatan masyarakat,” tutur Danis.●