Di jantung gang-gang sempit Pulo Kambing, Jakarta Timur, di tengah riuhnya aktivitas ekonomi rumah tangga yang berkutat pada cucian dan warung sederhana, seorang perempuan bernama Vera Nofita diam-diam merajut revolusi. Bukan dari gembar-gembor politik atau riset akademis, melainkan dari sesuatu yang seringkali luput dari perhatian: sampah.
Keresahan Vera bermula dari pilunya melihat ibu-ibu di lingkungannya terjerat lilitan utang bank keliling. Langkah awalnya sederhana, membentuk kelompok simpan pinjam. Namun, tantangan muncul ketika seorang ibu mengungkapkan ketidakmampuannya menabung lantaran penghasilan sang suami yang hanya Rp50 ribu per minggu.
“Suatu hari, ada ibu yang ingin menabung tapi penghasilan suaminya hanya Rp50 ribu seminggu. Saya pun menyarankan, ‘bawa saja sampah ke sini,'” kenang Vera, dalam perbincangannya dengan Majalah Peluang, (26/3/2025). Ide sederhana itu bak oase di gurun pasir. Lahirlah Bank Sampah Gunung Emas pada tahun 2014, bermula dari teras rumah berukuran 3×1 meter. Kini, inisiatifnya telah menjangkau lebih dari 700 nasabah.
Uniknya, “tabungan” di bank ini bukanlah lembaran rupiah, melainkan tumpukan sampah yang dikumpulkan setiap minggu. Kardus dihargai Rp1.300 per kilogram, botol plastik PET Rp2.500, tutup botol Rp1.500, aluminium Rp7.500, kaleng Rp500, besi Rp1.200, minyak jelantah Rp4.000 per liter, bahkan popok bayi bekas pun bernilai Rp120 per buah. Sampah plastik saset dan bungkus kecil yang sering dianggap tak berharga pun dihargai Rp100 per kilogram.
Hasil “menabung” sampah ini kemudian bisa dicairkan setiap tiga bulan sekali. Bagi banyak ibu rumah tangga, dana ini menjadi penyelamat di berbagai situasi: membayar biaya sekolah anak, menambah modal warung, hingga mengatasi kebutuhan mendesak lainnya.
“Yang memotivasi masyarakat sebenarnya uang. Tapi kami ubah uang itu jadi pintu masuk untuk mengubah pola pikir,” ungkap Vera, menyiratkan visi yang lebih dalam dari sekadar transaksi ekonomi.
Seiring waktu, Bank Sampah Gunung Emas bertransformasi menjadi pusat pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi sirkular. Vera tak hanya meminta warga memilah sampah, tetapi juga menanamkan pemahaman bahwa setiap helai plastik, setiap serpihan kain bekas, bahkan kemasan saset yang remeh temeh, memiliki potensi nilai ekonomi jika dikelola dengan pengetahuan dan strategi yang tepat.
Bank sampah ini tidak hanya menerima, tetapi juga mengolah sampah menjadi nilai tambah. Sampah organik diolah melalui 400 lubang biopori menjadi kompos, sementara sampah non-organik disalurkan ke pabrik-pabrik mitra, mulai dari plastik PET, kaleng, minyak jelantah, hingga aluminium. Komitmen pada lingkungan tercermin dari diterimanya sampah low value seperti bungkus permen dan plastik kresek.