
Peluang News, Jakarta – Pengawasan terhadap koperasi keuangan merupakan aspek krusial dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan perkoperasian dan sektor keuangan mikro. Namun, efektivitas pengawasan sangat bergantung pada pemahaman mendalam tentang beragam model bisnis keuangan yang menjadi objek pengawasan.
Sebab, tanpa pengetahuan yang komprehensif tentang karakteristik unik dan dinamika operasional dari berbagai model bisnis koperasi keuangan, maka upaya pengawasan tidak akan tepat sasaran serta kurang efektif dalam mengidentifikasi dan memitigasi risiko.
Dalam membangun sistem pengawasan koperasi tersebut, diperlukan keterlibatan aktif dari second layer, yaitu asosiasi koperasi. Asosiasi ini memiliki peran vital sebagai jembatan antara regulator dan koperasi anggota, serta dapat memberikan wawasan berharga tentang tantangan dan kebutuhan spesifik sektor.
Tanpa melibatkan asosiasi koperasi dalam proses pengembangan dan implementasi sistem pengawasan, terdapat risiko terciptanya kesenjangan antara kebijakan pengawasan dan realitas operasional di lapangan.
Oleh karena itu, pendekatan holistik dalam membangun sistem pengawasan koperasi keuangan pun harus menggabungkan pemahaman yang mendalam tentang beragam model bisnis dengan kolaborasi erat bersama asosiasi koperasi.
Hal ini bertujuan untuk memastikan terciptanya kerangka pengawasan yang tidak hanya komprehensif dan adaptif, tetapi juga relevan dan dapat diimplementasikan secara efektif di berbagai jenis koperasi keuangan. Dengan demikian, sistem pengawasan dapat secara optimal mendukung pertumbuhan sektor koperasi yang sehat dan berkelanjutan.
Adapun pengawasan koperasi keuangan sendiri merupakan aspek krusial dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan sektor keuangan mikro. Akan tetapi, sistem pengawasan yang efektif perlu mempertimbangkan keragaman model bisnis, seperti village bank, tanggung renteng, BMT, kemitraan, credit union, pembiayaan kelompok, dan unit usaha simpan pinjam.
Untuk Model Bisnis Village Bank (Bank Desa), sumber permodalannya berasal dari simpanan anggota sebagai sumber utama permodalan. Selain itu, dukungan modal awal dari lembaga donor atau pemerintah juga sering diberikan untuk memulai operasional (Seibel, 2005). Misalnya, dalam program FINCA, modal awal disediakan oleh lembaga penyelenggara, namun selanjutnya bank desa diharapkan dapat mandiri dari simpanan anggota (FINCA International, 2021).
Model lembaga keuangan mikro yang beroperasi di tingkat desa ini bertujuan untuk memberikan akses keuangan bagi masyarakat pedesaan yang umumnya tidak terjangkau layanan perbankan formal.
Kemudian, terdapat Model Bisnis Tanggung Renteng yang merupakan sistem pembiayaan kelompok di mana anggota kelompok bersama-sama bertanggung jawab atas kewajiban pembayaran pinjaman. Model ini banyak diterapkan oleh koperasi simpan pinjam di Indonesia.
Dengan sumber permodalan yang berasal dari simpanan anggota, baik simpanan pokok, wajib, maupun sukarela, penyaluran dana dalam model bisnis ini ditujukan kepada anggota kelompok tanggung renteng, yang umumnya merupakan pelaku usaha mikro atau masyarakat berpenghasilan rendah (Rahayu, 2016).
Lalu, Model Bisnis Baitul Maal wat Tamwil atau BMT merupakan lembaga keuangan mikro syariah yang menggabungkan fungsi sosial (baitul maal) dan fungsi bisnis (baitul tamwil). Model ini banyak berkembang di Indonesia sebagai alternatif keuangan mikro berbasis syariah.
Cara penghimpunan dalam model bisnis ini dilakukan melalui produk simpanan berbasis akad wadiah dan mudharabah. Sedangkan penyaluran dana menggunakan akad-akad syariah seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, dan qardh (Widiastuti & Sriyanto, 2021). Untuk mitigasi risikonya, BMT menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran pembiayaan, termasuk analisis kelayakan usaha dan karakter nasabah.
Lebih lanjut, terdapat juga Model Bisnis Kemitraan yang melibatkan kerja sama antara lembaga keuangan mikro dengan pihak lain, seperti perusahaan besar, pemerintah, atau lembaga donor, dalam penyaluran pembiayaan mikro dengan sasaran penyaluran misalnya para petani plasma dalam skema inti-plasma, atau UMKM dalam rantai pasok perusahaan besar (Anas et al., 2024).
Cara penghimpunan dalam model ini dilakukan melalui kerja sama dengan mitra. Sementara penyaluran dana dapat menggunakan berbagai skema sesuai jenis kemitraan, seperti kontrak beli, sub-kontrak, atau pola dagang umum.
Selain itu, Model Bisnis Credit Union (CU) juga merupakan model yang kerap digunakan dengan menekankan pada prinsip swadaya dan demokratisasi keuangan.
Sumber permodalan dari model ini sepenuhnya berasal dari simpanan anggota, baik dalam bentuk simpanan pokok, wajib, maupun sukarela. CU tidak bergantung pada sumber dana eksternal dengan sasaran penyaluran dana CU ditujukan hanya untuk anggota, baik untuk keperluan produktif maupun konsumtif. Prinsip “dari anggota, oleh anggota, untuk anggota” sangat ditekankan dalam model bisnis ini.
Yang tak kalah penting, Model Bisnis Pembiayaan Kelompok juga melibatkan penyaluran dana kepada kelompok-kelompok kecil yang anggotanya saling menjamin. Sejatinya, model ini populer dalam skema keuangan mikro untuk menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Untuk mtigasi risiko dalam model ini dilakukan dengan menekankan mengenai sosial dan tanggung jawab bersama dalam kelompok menjadi mekanisme utama mitigasi risiko. Selain itu, pembinaan usaha dan pendampingan kelompok juga dilakukan untuk meminimalkan risiko gagal bayar dengan model ini.
Tak hanya itu, Model Bisnis Unit Usaha Simpan Pinjam juga merupakan unit usaha dalam koperasi yang bergerak di bidang simpan pinjam. Model ini umumnya ditemukan pada koperasi serba usaha di tanah air.
Dengan sumber permodalan dari simpanan anggota koperasi, serta alokasi modal dari induk koperasi, penyaluran dana USP ditujukan untuk anggota koperasi, baik untuk keperluan produktif maupun konsumtif.
Sedangkan cara penghimpunan dana dalam model bisnis ini dilakukan melalui produk simpanan untuk anggota dengan penyaluran dana melalui pinjaman kepada anggota dengan prosedur yang lebih sederhana dibandingkan bank.
Implikasi terhadap Sistem Pengawasan
Berdasarkan analisis terhadap tujuh model bisnis tersebut, setidaknya terdapat beberapa implikasi penting dalam membangun sistem pengawasan koperasi keuangan.
Yang pertama, Fleksibilitas dan Proporsionalitas, sistem pengawasan ini perlu memiliki fleksibilitas untuk mengakomodasi keragaman model bisnis dengan pendekatan one-size-fits-all tidak akan efektif mengingat setiap model memiliki karakteristik unik.
Misalnya, pengawasan terhadap BMT perlu mempertimbangkan aspek kepatuhan syariah, sementara pengawasan terhadap credit union perlu fokus pada kecukupan simpanan anggota sebagai sumber utama modal.
Kedua, Penguatan Tata Kelola dan Sistem Pengendalian Internal, kedua hal ini menjadi aspek krusial dalam pengawasan. Pasalnya, regulator perlu mendorong penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi anggota, pada semua model bisnis koperasi keuangan.
Yang ketiga, Pengawasan Berbasis Risiko, perlu diterapkan untuk mengoptimalkan sumber daya pengawasan. Sebab, regulator dalam hal ini perlu mengidentifikasi dan memahami profil risiko dari masing-masing model bisnis, serta menyusun metodologi penilaian risiko yang sesuai.
Misalnya, untuk model tanggung renteng dan pembiayaan kelompok, pengawasan dapat difokuskan terhadap kualitas pembentukan dan pengelolaan kelompok. Sedangkan untuk BMT, optimalisasi penggunaan dana-sosial berpotensi dapat membantu mitigasi risiko gagal bayar untuk masyarakat duafa.
Kendati demikian, membangun sebuah sistem pengawasan koperasi simpan pinjam yang efektif dan komprehensif merupakan tantangan sekaligus kebutuhan mendesak dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan sektor keuangan mikro di Indonesia.
Oleh karenanya, melalui pendekatan holistik yang mencakup aspek regulasi, teknologi, sumber daya manusia, dan tata kelola ini diharapkan dapat tercipta ekosistem pengawasan yang mampu mengakomodasi keragaman model bisnis koperasi.
Apalagi, keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk regulator, asosiasi, dan koperasi itu sendiri merupakan kunci utama dari keberhasilan implementasi sistem pengawasan yang baik dan adaptif. (Hawa)
Oleh: Ketua Umum IMFEA, Ketua Umum ADEKMI, dan Wakil Rektor III Ikopin University, Ahmad Subagyo.