PeluangNews, Jakarta – Aftech atau Asosiasi Fintech Indonesia mengakui bahwa inklusi keuangan di Indonesia sudah cukup baik. Sayangnya, hal itu belum beriringan dengan pemahaman masyarakat dalam penggunaannya.
“Data OJK (Otoritas Jasa Keuangan) ada 35 persen gap (jurang) antara inklusi keuangan yang tinggi dengan literasi keuangan yang rendah,” kata Executive Director Aftech Aries Setiadi, dalam temu media di Warung Bistro, Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, Rabu (24/1/2024)
Sumber daya manusia (SDM) Indonesia, menurut Aries, perlu pengetahuan lebih tinggi soal fintech. Supaya penggunaannya betul-betul bermanfaat dan tidak menjadi bumberang bagi masyarakat.
“Karena kalau tidak (dibarengi literasi), masyarakat pakai jasa keuangan tapi tidak paham dan menyebabkan masuk investasi bodong atau fintech ilegal,” ucapnya.
Aries menyebut Aftech terus berupaya mengdorong literasi keuangan masyarakat. Salah satunya dengan media gathering dengan awak media. Alasannya, media massa memiliki daya amplifikasi yang luas kepada masyarakat.
“Kita juga ke kampus-kampus karena generasi muda tech savvy tapi hati-hati jangan tergoda cuan tinggi tapi tidak benar,” kata dia.
Peluang Fintech di 2024
Di tahun 2024 yang merupakan tahun politik, Aries tetap optimistis dan waspada terhadap pertumbuhan industri fintech (financial technology) pada 2024.
“Kami melihatnya dari sisi optimis, tapi juga cautious, waspada. Jadi bukan optimis tapi anxious gitu ya. Kita jangan cemas, tapi tetap perlu berhati-hati,” kata Aries menegaskan.
Optimisme, menurut Aries, dilihat dari tiga faktor. Pertama, dari makro ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali menguat pascapandemi COVID-19 menjadi berkisar 5 persen. Outlook pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 juga diperkirakan tumbuh di atas 5 persen, atau salah satu yang tertinggi di dunia.
Melihat dari ekosistem ekonomi digital, diperkirakan akan bertumbuh 15 persen per tahun hingga 2025 berdasarkan laporan dari Google, Temasek, dan Bain & Company. Artinya, pertumbuhan di sektor tersebut tiga kali lipat dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Jadi, walaupun sekarang mungkin porsi ekonomi digital masih kecil, tapi dengan kelipatan yang tinggi, itu akan mengejar,” ujarnya.
Kedua, yang melandasi Aftech optimisme perkembangan industri fintech pada tahun 2024 ialah adanya Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Secara spesifik, aturan tersebut mencatat aturan terkait Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) yang mencakup antara lain industri fintech.
“Jadi kalau selama ini fintech itu diatur di tataran lembaga gitu ya, kalau sistem pembayaran atau payment gateway di Bank Indonesia, terkait dengan sandbox itu ada di OJK (Otoritas Jasa Keuangan), sekarang ada tataran undang-undang. Jadi lebih kuat,” ungkap Aries.
Sebagai asosiasi, Aftech disebut akan menjaga agar peraturan pelaksanaan dari UU P2SK dapat lebih suportif lagi terhadap kemajuan industri fintech dan diterima oleh masyarakat luas.
Ketiga, optimisme fintech dilandasi oleh permintaan terhadap layanan industri fintech masih tinggi mengingat 97,7 juta orang di Indonesia, atau 48 persen dari total penduduk, masih unbanked (orang dewasa yang tidak memiliki rekening bank sendiri). Hal ini menunjukkan bahwa para pelaku industri fintech masih bisa menyentuh warga negara yang unbanked guna antara lain meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. (Aji)