Dewasa ini, masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini banyak yang hidup dari utang. Naasnya, salah satunya justru berurusan dengan pinjaman online (pinjol). Masalahnya, banyak masyarakat yang tidak punya akses ke bank (bankable). Demikian potret buram ekonomi kita, sebagaimana dikemukakan Ekonom Senior INDEF, Aviliani.
Mirisnya, menurut dia, utang tersebut bahkan digunakan untuk makan. Itu pun banyak yang tidak mampu membayar kembali utangnya. Di sisi lain, mereka tidak mendapatkan bantuan tunai langsung (BLT) karena dikategorikan dalam kelompok kelas menengah. Artinya apa? Menurut Aviliani, hal ini membuktikan kemiskinan struktural makin nyata di Indonesia.
Kemiskinan struktural adalah kondisi di mana pendapatan seseorang berada di atas garis kemiskinan, tetapi masih relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya. “Sudah banyak kaum yang tidak kena BLT. Masalahnya kelas menengah yang turun cukup besar karena PHK, karena covid, PHK karena efisiensi dengan era digtalisasi,” ujarnya dalam diskusi publik INDEF.
Kondisi semacam ini sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sebab, pada era Joko Widodo, meski ada Kartu Prakerja, dampaknya tidak signifikan. “Ini kondisi yang terjadi, pemerintah harus fokus pada permasalahan ini. Ada Prakerja, tapi apakah ini sudah disesuaikan, karena ini cukup besar uang saku dan uang programnya,” imbuhnya.
Senada dengan Aviliani, Ekonom Senior INDEF Didin S Damanhuri mengatakan penurunan kelas menengah bukan hanya karena covid-19 saja, melainkan juga karena alokasi APBN dan perbankan lebih banyak ke sektor besar, bukan UMKM. Karenanya, ia menilai bantuan kepada masyarakat harus kembali dikaji. Hal ini untuk memastikan seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan bisa menerima manfaatnya. “Supaya tidak terjadi kemiskinan struktural, APBN dalam alokasinya harus memberikan stimulus kepada masyarakat bawah,” kata Didin.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia yang ia paparkan, alokasi pendanaan dari perbankan untuk UMKM harusnya 99 persen. Namun, sejauh ini hanya terealisasi 18 persen, sisanya kepada sektor atau perusahaan besar. “Ini peluang besar, bukan hanya dari APBN tapi juga perbankan, untuk kelompok UMKM. Supaya tidak hanya APBN, tapi juga dari stimulus perbankan itu dilakukan aliran dana pihak ketiga terhadap UMKM ini,” pungkasnya.●