hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Surabaya, Role Model Kelola Sampah

Beban di TPA (tempat pembuangan akhir) bisa diperkecil dengan mengaktifkan sejumlah pusat daur ulang. Bagian paling penting, tumbuh dan meluasnya kesadaran masyarakat. Yakni dengan memilah sampah sumber pertamanya, sejak dari rumah.

           

TAK terbuang sia-sia enam ton sampah yang dihasilkan warga Kelurahan Jambangan, Surabaya. Tumpukan sampah organik berjajar rapi di sebuah depo di Kecamatan Jambangan itu. Setiap tumpukan ditandai usia hari. Hebatnya, aroma yang merebak dari sana tidak menyengat, tapi mirip tembakau. Pada hari ke-21, setelah dibalik dan dicampur, plus 5 hari untuk pengeringan, sampah tersebut disebar untuk memupuk taman-taman kota.

Pusat Daur Ulang (PDU) Jambangan berdiri di atas lahan 2.900 m². Bangunan gudangnya 20 x 15 meter. Di situ bekerja 14 pegawai. Lima warga setempat, sisanya warga eks lokalisasi Dolly. Jadi, selain dapat keuntungan dari hasil penjualan sampah anorganik, mereka juga digaji oleh Pemkot Surabaya Rp70.000/hari/orang.

Hanya di Jambangan?  Jelas tidak. Di Kel Sutorejo sarana serupa juga ada. Secara menyeluruh, Kota Surabaya memiliki 26 titik rumah kompos. Hasilnya, pasokan sampah dari pasar tradisional ke TPA Benowo yang 1.500 ton/hari (60%-nya sampah organik) berkurang hingga 40 ton/hari. Ini tidak luput dari kinerja 28.600 kader lingkungan dan 620 fasilitator. Gas metana dari sampah di TPA Benowo bisa pula menyumbang 1 MW energi listrik yang dijual ke PT PLN.

Logis jika pada 2014 Surabaya didaulat sebagai salah satu kota yang mampu mengelola sampah dengan baik, melalui program 3R (reduce, reuse, recycle). Bahkan menjadi role model untuk Indonesia. Itu juga alasan menunjuk Surabaya jadi tuan rumah Forum Regional 3R atau The 5th Regional 3R Forum in Asia & The Pacific, empat tahun silam. Temanya Multilayer Partnership & Coalitions as the Basic for 3R’s Promotion in Asia & The Pacific. Pembukaannya dihadiri 300 peserta dari 38 negara di Asia Pasifik.

Indikator sukses dalam hal pengelolaan sampah berupa adanya bank sampah dan rumah kompos. Alhasil, sampah bukan lagi menjadi barang yang tidak berguna, melainkan justru bernilai uang. Warga berindentitas Surabaya juga bisa mendapatkan pupuk gratis hanya dengan menunjukkan KTP. Sampah organik tersebut diolah dengan metode komposting “kue lapis”. Selama ini, di banyak kota, pengelolaan sampah masih dengan cara lama, yakni menimbunnya di dalam tanah.

Gerakan Indonesia Peduli Sampah menuju masyarakat berbudaya 3R (reduce, reuse, recycle) untuk kesejahteraan masyarakat dideklarasikan di Surabaya dan dihadiri 30 Walikota/Bupati se-Indonesia, yang memiliki komitmen besar untuk mewujudkan Indonesia bersih dari sampah pada 2020. Sejauh ini, sampah di kota-kota besar baru bisa dikelola di bawah 50 persen. Selebihnya tidak diurus.

Program 3R dinilai menjadi landasan upaya pengelolaan sampah secara mandiri oleh masyarakat, dalam rangka mengurangi sampah dan mengambil nilai ekonomis dari sampah. Dengan cara 3R, karena sejauh ini penerapan secara keseluruhan di Indonesia baru sekitar 7%. Di antara 3R, Reduce ini merupakan titik kritis. Sebab, jika dicermati, ongkos pengelolaan sampah terbesar (50%) justru untuk biaya angkut.

Berbagai inovasi dilakukan Pemkot Surabaya dalam pengelolaan sampah yang selaras. Guna mewujudkan Indonesia bersih sampah pada 2020. Disadari bahwa kunci sukses keberhasilan pengolahan sampah terletak pada peran serta aktif masyarakat beserta seluruh elemen yang ada. Gerakan pengurangan sampah juga diterapkan di sekolah melalui program Eco School. Edukasi kepada anak-anak usia sekolah menjadi salah satu langkah penting menanamkan budaya 3 R. Di sekolah, anak-anak mengenal lingkungan dan sekaligus mempraktikkannya.

Pengolahan sampah mulai dari rumah tangga, tempat pembuangan sementara di kampung-kampung, hingga di tempat-tempat umum menjadi langkah yang efektif untuk mengurangi volume sampah. Sampah-sampah dari rumah penduduk itu dipilah menjadi beberapa kategori: sampah kemasan, plastik warna, plastik transparan, kertas, botol plastik, dan kaleng. Metode yang kelihatan sederhana ini terbukti efektif.

Hasil pilah-memilah sampah secara kategoris itu selanjutnya dijual ke pengepul. Nilainya lumayan. Tak kurang dari Rp6 juta/bulan uang masuk dari hasil penjualan kelompok sampah anorganik. Perolehan tersebut lalu dibagi secara proporsional: 70% hasil penjualan untuk pemilah, 10% untuk tabungan hari raya (THR), 10% untuk simpan pinjam, dan 10% lagi untuk biaya operasional. Di berbagai kota besar lain, pekerjaan ini menjadi porsi para pemulung. Mereka secara ‘swadaya’ mengambil inisiatif untuk menopang keberlangsungan hidup.

Ke depan, selain terus mengurangi volume sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Benowo. Sampah-sampah yang diangkut ke TPA, diangkut menggunakan mobil compactor, tidak lagi memakai bak terbuka yang umum. Pemkot Surabaya juga concern mencegah timbunan sampah menuju ke pantai/laut. Juga memasang trap (perangkap) sampah di sungai-sungai supaya sampah tidak ke laut.

Kota Surabaya dan sejumlah daerah seperti Balikpapan, Makasar, dan Depok, ditunjuk sebagai role model pengelolaan sampah yang baik untuk menuju Indonesia bersih dari sampah pada 2020. Pada hemat Pemkot Surabaya, kota yang dipimpin Tri Rismaharini ini masih menilai perlu lebih meningkatkan kesadaran masyarakat. Khususnya mengurangi semaksimal mungkin penggunaan sampah nonorganik seperti kemasan minuman dan makanan.●(dd)

pasang iklan di sini