Peluang News, Jakarta-Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya dalam mengatasi tingginya angka pekerja informal di Tanah Air melalui strategi komprehensif yang dipaparkan dalam Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference/ILC) ke-113 di Jenewa, Swiss.
“Per Februari 2025, lebih dari 59 persen pekerja Indonesia masih berada di sektor informal. Ini bukan sekadar angka, tapi sinyal bahwa kita butuh perubahan nyata dan sistemik,” ujar Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, saat menyampaikan pernyataan resmi Indonesia dalam forum internasional tersebut.
Untuk mendorong transisi ke sektor formal secara berkelanjutan dan inklusif, pemerintah mengusung tiga strategi utama. “Pertama, kami menciptakan lapangan kerja formal berbasis ekonomi hijau dan digitalisasi industri. Kedua, kami meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan vokasi dan pemagangan. Ketiga, kami memperkuat layanan penempatan kerja dengan digitalisasi lewat platform SIAPKerja,” jelas Immanuel.
Ia menambahkan bahwa seluruh strategi tersebut sejalan dengan Rekomendasi ILO No. 204, yang mendorong negara anggota mendukung transisi dari ekonomi informal ke formal dengan prinsip hak pekerja, produktivitas, dan perlindungan sosial.
“Langkah ini kami ambil agar sistem ketenagakerjaan Indonesia bisa lebih kuat dan siap menghadapi perkembangan teknologi serta perubahan cara kerja di masa depan,” tegasnya.
Dalam hal perlindungan sosial, pemerintah terus memperluas jangkauan bagi seluruh pekerja, termasuk yang masih berada di sektor informal. Program seperti Kartu Prakerja dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dinilai berperan strategis dalam membangun daya tahan tenaga kerja terhadap perubahan.
“Kami ingin memastikan tidak ada pekerja yang merasa sendirian saat menghadapi perubahan. Sistem perlindungan sosial harus hadir bagi semua, tidak hanya yang sudah bekerja formal,” kata Immanuel.
Dari sisi pelaku usaha, pemerintah juga mendorong percepatan formalisasi UMKM melalui platform Online Single Submission (OSS). “Formalisasi itu bukan sekadar soal perizinan, tapi soal kepastian hukum, akses pembiayaan, dan keberlanjutan usaha,” terang Immanuel.
Ia menutup pernyataan dengan menekankan pentingnya inklusivitas dalam dunia kerja. “Kalau kita bicara pekerjaan yang layak, maka harus layak untuk semua, tanpa terkecuali. Kita sedang membangun sistem ketenagakerjaan yang inklusif, tidak pilih-pilih,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen Binapenta Kemnaker, Eva Trisiana, menyatakan bahwa Indonesia juga memperkuat kerja sama global dalam pembangunan ketenagakerjaan.
“Kami terbuka untuk belajar dari negara lain dan membagikan praktik baik yang telah kami jalankan. Kolaborasi global adalah kunci untuk memastikan pekerjaan layak bisa dirasakan semua orang, di mana pun mereka berada,” kata Eva.
Ia juga menyampaikan apresiasi atas program-program ILO seperti PROMISE II IMPACT dan inisiatif digital wage, yang mendukung transparansi dan efisiensi dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia.