hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Di Hari Kebangkitan Nasional, Ekonomi Rakyat Justru Terpuruk

Di Hari Kebangkitan Nasional, Ekonomi Rakyat Justru Terpuruk
dok.pribadi

Oleh: Sopyan Iskandar

Hari ini, 20 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, kita justru menyaksikan ironi di tengah masyarakat: tersiar kabar bahwa sebanyak 50.000 pengemudi ojek online akan menggelar unjuk rasa. Isu utamanya adalah soal pendapatan yang terus menyusut—bisa jadi akibat perubahan manajemen, sistem aplikasi yang tak berpihak, atau memang daya beli masyarakat yang semakin melemah.

Fenomena ini bukan berdiri sendiri. Dalam dua bulan terakhir, saya menyaksikan sendiri kisah-kisah getir dari sekitar kita. Anak kost yang telah menunggak pembayaran selama sepuluh hari terakhir, sementara pemilik rumah kost pusing tujuh keliling mencari dana tambahan untuk membayar listrik yang jatuh tempo hari ini—20 Mei. Jika lewat, aliran listrik pasti akan diputus.

Hari Kebangkitan Nasional

Penghuni kost lainnya, seorang penjual siomay, akhirnya angkat kaki karena tak sanggup membayar sewa, meski pemilik kost telah menurunkan harga demi alasan kemanusiaan. Ia harus membayar utang anaknya sebesar Rp10 juta yang pernah mondok di pesantren. Lagi-lagi, beban rakyat kecil.

Pekan lalu, seorang ibu rumah tangga mengadu kepada suaminya—pelaku usaha kuliner yang bermitra dengan koperasi karyawan di sebuah perusahaan. Pembayaran yang telat hingga empat hari, diperparah oleh libur panjang, memaksanya berutang ke pedagang sayur dan ayam agar operasional katering tetap berjalan.

Sementara itu, sopir langganan GrabCar yang biasa mengangkut bahan baku katering setiap pagi, mengeluhkan penumpang yang semakin sepi. Ia telah berutang Rp14 juta ke pinjaman online (pinjol) demi menutupi biaya operasional dan kebutuhan keluarganya, termasuk biaya sekolah anak. “Efisiensi atau apalah namanya,” gumamnya, penuh kecewa.

Seorang pria muda, bersama istrinya, datang ke rumah saya. Ia baru saja terkena PHK karena tempatnya bekerja—perusahaan makanan dan minuman—bangkrut. Mereka meminta tolong dicarikan pekerjaan. Begitu gamblang wajah kegelisahan itu.

Dari pasar, terdengar pula keluhan seorang ibu pengusaha. Ia tidak dibayar oleh pemerintah atas pekerjaan melaksanakan program MBG (Makan Bergizi Gratis) senilai Rp1 miliar. Isu ini menguat di kalangan pedagang, bahkan terdengar bisik-bisik bahwa kini pembayaran MBG dilakukan oleh seorang tokoh publik: Prabowo. Apakah benar negara kehabisan dana?

Masih banyak kisah serupa. Seorang pensiunan, yang dahulu berperan besar membesarkan koperasi, kini kesulitan menjadi anggota dan mengajukan pinjaman karena regulasi yang rumit dan mensyaratkan adanya deposito atau status sebagai pemasok tetap. Ironis, mengingat ia pernah berkontribusi pada keberlangsungan koperasi tersebut.

Sementara itu, aset tanah dan bangunan yang ditawarkan untuk dijual dengan harga setengah pun belum juga laku, memperparah masalah arus kas para pelaku UMKM.

Tak berhenti di sana. Penipuan bisnis bodong, perjudian online, pembegalan, pencurian, dan kejahatan lainnya makin marak. Seolah rasa lapar telah menumpulkan nurani; halal dan haram kian kabur. Semua ditabrak demi bertahan hidup.

Di ranah pemerintah, korupsi tak kalah menjadi momok. Seolah telah merasuki semua lini program. Bahkan, beberapa inisiatif seperti program Koperasi Desa (Kopdes) justru terindikasi sejak awal sebagai proyek yang rawan dikorupsi—by design.

Semua ini mencerminkan satu hal: rakyat menjerit. Terutama para pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Harga bahan pokok terus melambung, naik 15 hingga 40 persen selama setahun terakhir. Pernah, harga cabai rawit menembus Rp140.000 per kilogram!

Lalu pertanyaannya: mau dibawa ke mana negeri ini? Sampai kapan NKRI harus terus bergulat dalam krisis ekonomi tanpa arah yang jelas? Mengapa justru para pejabat terlihat sibuk menyelamatkan diri masing-masing?

Dan di tengah semua ini, kami bertanya:
Ke mana para idealis? Di mana suara para intelektual dan pakar yang pernah bersumpah membela rakyat? Di mana para pejuang koperasi dan keadilan sosial berada saat ini?

Sudah saatnya kita bangkit—bukan sekadar sebagai slogan Hari Kebangkitan Nasional—tetapi sebagai seruan nyata untuk menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan. (#)

*) Pengamat Sosial dan Pegiat Perkoperasian Banten

pasang iklan di sini