Palestina selalu saja tak kunjung sepi dari pemberitaan pers dunia. Tidak jelas, apakah ia memang ujud sebuah negara atau cuma kamp tawanan orang-orang Arab di mana tentara Israel boleh bebas membantai dan menembaki anak-anak dan kaum perempuan.
Yang jelas, tulis Edward Said, selepas perang Juni 1967, kata ‘palestina’ nyaris tak bisa digunakan dalam diskusi umum. Di tahun 1969, Golda Meier tegas mengumumkan tidak ada Palestina.
Tetapi bagaimana dengan anak-anak yang panik berlarian di daerah Tepi Barat Sungai Yodran itu. Bocah-bocah usia SMP yang mengusir tank- tank lapis baja Israel dengan lemparan batu. Mereka, anak-anak yang tewas tertembus peluru tentara itu menjadi simbol perlawanan, Intifada Palestina, yang lebih dramatis ketimbang aksi bom bunuh diri ataupun serbuan rudal ke Tel Aviv.
Memang tidak mudah memotret proses dehumanisasi di wilayah paling absurd di muka bumi itu.
Ketika Joe Sacco, menyajikan hasil kunjungan jurnalistiknya dalam format komik grafis, kita bagai dihadapkan pada pertanyaan besar tentang masa depan sebuah generasi yang tidak jelas di tanah sengketa itu. Kita melihat Amerika yang tak bergeming dengan kebijakan standar gandanya di Timur Tengah.
Sebuah komik, tentu saja sebuah rangkaian gambar yang biasanya distel dengan gaya jenaka. Pada komik grafis Sacco, tentang Palestina, yang muncul adalah potret buram sebuah kota bernama Gaza. Kita dihadapkan pada mata tentara yang beringas, pagar kawat berduri dan wajah-wajah kusam orang-orang yang terusir dan teraniaya di negerinya.
“Selama 50 tahun orang menulis tentang kami, sejak intifadah meletus pada 1987, jurnalis seluruh dunia datang. Palestina penuh jurnalis. Awalnya kami menyambut mereka, kami tunjukkan segalanya, tapi apa manfaatnya bagi Palestina? Apa yang berubah? Apa gunanya Anda ke sini menulis semua itu.” Pertanyaan itu meluncur dari sejumlah orang Palestina, mencerca Sacco. Tentu saja, sang wartawan kelahiran Malta yang tinggal di Amerika ini tidak dalam kapasitas menjawab, Ia hanya mencatat fakta, menyampaikan sebuah laporan jurnalistik.
Tugas jurnalistik di negeri rusuh itu memang hanya jadi kesia-siaan. Pena wartawan tidak lebih tajam dari public relation Amerika di Timur Tengah. Industri pers sepenuhnya di kuasai Barat pro Yahudi-Amerika, yang acapkali menampilkan sosok bangsa Arab yang radikal dan hobi terror.
Israel adalah representasi Amerika di Timur Tengah. Dunia tahu persis dan negara adi daya itu tidak pernah sungkan mengakui keberpihakan itu.
Situs infopalestina.com pada 2006 mengulas ’Lobi Yahudi dan Politik Luar Negeri Amerika’ hasil studi dua professor John Mershamr dan Steven Walt dari Universitas Chicago dan Harvard. Tulisan yang dinilai berani itu mengungkapkan, Israel sejak perang dunia kedua menerima US$140 miliar ditambah US$ 3 miliar setiap tahun. Jumlah ini setara dengan 1/5 anggaran bantuan dana luar negeri Amerika. Itu pula sebabnya mengapa Israel sering dijuluki ‘Amerika Kecil’ di Timur Tengah.
Menjadi tidak jelas dan tak diperhitungkan seperti halnya komunitas Palestina, memang menyakitkan. Jika kemudian jawabannya muncul dengan gerakan Intifadah, adalah sebuah upaya menegakkan eksistensi.
Persoalannya bukan selesai pada keinginan untuk hidup damai berdampingan. Keduanya justru ingin saling mengeliminasi . ‘’Bisakah Arab di percaya,’’ kata Paula, seorang wanita Israel teman Sacco, di Tel Aviv. Dan bagi Arab, kaum Yahudi identik dengan bangsa yang selalu mengingkari janji.
Di balik perseteruan panjang itu, yang kita lihat sebenarnya adalah sebuah keserakahan untuk menguasai. Israel yang bercita-cita mencaplok seluruh Timur Tengah ke dalam pangkuan Israel Raya bertemu dengan ketamakan Amerika yang mengincar ladang-ladang minyak. Caranya, seperti kata Machiavelli, halalkan semua cara. Keputusan politik, tidak boleh ditentukan oleh pandangan agama dan moralitas. Untuk kepentingan negara dan pemerintah, semua tindakan adalah halal. Di Timur kita menemui kearifan yang lain dari seorang Gandhi. Tuhan, kata bapak orang India itu, menciptakan isi bumi ini cukup untuk semua orang, tetapi tidak cukup untuk satu keserakahan. (Irsyad Muchtar)