hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Bisnis  

Swasta Siap Gelontorkan Dana Hijau, Tapi Proyek Masih Minim

 

Swasta Siap Gelontorkan Dana Hijau, Tapi Proyek Masih Minim
Tiza Mafira – Direktur Climate Policy Initiative (CPI). Foto: Gema/Peluang

Peluang News, Jakarta – Pendanaan iklim di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam memenuhi kebutuhan investasi sektor hijau yang terus meningkat. Meski minat sektor keuangan terhadap investasi hijau semakin tinggi, ketersediaan proyek hijau yang layak dibiayai dinilai masih terbatas.

Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia, Tiza Mafira, menilai ada pergeseran positif dalam dunia keuangan nasional terhadap isu lingkungan.

“Sektor keuangan kita sudah menyatakan minat untuk membiayai proyek hijau, bahkan sudah banyak yang memiliki portofolio ESG (Environmental, Social, and Governance),” katanya, saat berbincang singkat dengan Peluang usai acara Executive Forum bertajuk Kesiapan Dana Swasta Indonesia Dalam Pembiayaan Iklim di Jakarta, Jumat (25/4).

Namun, Tiza menekankan bahwa tantangan utamanya kini adalah kurangnya jumlah proyek hijau yang siap didanai. “Mereka mencari, tapi proyeknya di mana? Potensi kita besar, dari energi terbarukan sampai sektor pertanian, tapi masih susah direalisasikan karena minimnya insentif dan dukungan kebijakan,” lanjutnya.

Data CPI menunjukkan Indonesia membutuhkan investasi sebesar US$285 miliar (sekitar Rp4.794 triliun) hingga 2030 untuk memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Namun, dari angka tersebut, pemerintah diperkirakan hanya mampu menutupi 34% atau sekitar US$96,9 miliar. Artinya, masih terdapat kesenjangan pembiayaan hingga US$188 miliar yang harus diisi oleh sektor swasta dan lembaga internasional.

“Selama ini, mayoritas pendanaan iklim datang dari APBN. Padahal seharusnya, peran swasta jauh lebih besar,” ungkap Tiza, dalam pemaparannya.

Menurutnya, saat ini, kontribusi sektor swasta dalam pendanaan iklim baru menyentuh 15%, setara dengan US$41,6 miliar. Meski begitu, dari sektor perbankan, menurut Tiza, mereka tertarik dengan investasi hijau.

“Tren investasi hijau di dunia meningkat, di Indonesia pun meningkat. Pemberian kredit hijau meningkat dari tahun ke tahun. ESG di bursa Indonesia juga performancenya bagus, memenuhi performance 45 emiten dengan kapitalisasi tertinggi di Indonesia. Sebenarnya bagi mereka itu peluang bisnis luar biasa tapi balik lagi, proyek hijaunya ada di mana?” imbuhnya.

Sementara itu, kontribusi dari luar negeri pun masih sangat terbatas. Tiza mengungkapkan, sejak 2006 hingga 2023, total dana asing untuk pendanaan iklim di Indonesia tidak lebih dari US$2 miliar. “Bahkan pada 2023, hanya 43% dari komitmen internasional yang berasal dari lembaga multilateral. Kita tidak bisa terus bergantung pada dana asing,” tegasnya.

Dia juga menambahkan, pentingnya kebijakan cerdas dan konsisten untuk mendorong sektor hijau. Tiza menyebut, insentif fiskal seharusnya hanya diberikan pada proyek rendah emisi, bukan sektor tinggi karbon seperti PLTU batu bara.

“Kenapa sektor energi kotor masih dapat tax holiday dan subsidi? Ini saatnya insentif dialihkan ke energi bersih,” jelasnya.

Pemerintah Dorong Investasi Hijau dan Insentif Pajak

Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Kemenkeu, Boby Wahyu Hernawan, mencatat realisasi pendanaan iklim dari APBN telah mencapai Rp610,12 triliun sejak 2016. Angka itu setara dengan 12,3% dari total kebutuhan hingga 2030.

Rata-rata anggaran iklim yang dikucurkan setiap tahun mencapai Rp76,3 triliun, atau sekitar 3,2% dari total APBN. Di sisi lain, pemerintah telah memberikan insentif fiskal senilai Rp38,8 triliun sejak 2019 untuk sektor hijau, dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp51,5 triliun pada 2025.

Boby juga menyoroti potensi besar transisi energi terhadap ekonomi nasional. “Menurut Bank Dunia, transisi energi bisa menambah 1–1,5% pertumbuhan PDB Indonesia per tahun hingga 2030,” jelasnya. Pertumbuhan ini dipicu oleh investasi di sektor energi bersih, diversifikasi industri, serta penciptaan lapangan kerja hijau.

Untuk mempercepat pembiayaan hijau, pemerintah juga mendorong berbagai skema inovatif seperti green sukuk, SDG bonds, serta penguatan taksonomi keuangan berkelanjutan. Selain itu, pendekatan blended finance atau pendanaan campuran juga terus dikembangkan untuk menjembatani peran publik dan swasta.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat membuka jalan bagi tumbuhnya lebih banyak proyek hijau di Indonesia, menjawab kebutuhan investasi yang mendesak demi masa depan yang lebih berkelanjutan.

pasang iklan di sini