hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Inilah yang Dilakukan Rasulullah Saw Saat IdulFitri

Ilustrasi-Foto: Istimewa.

PeluangNews, Jakarta – Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran tinggal beberapa hari lagi, merupakan momen seluruh umat Islam bersuka cita menyambut hari kemenangan.

Di saat hari raya, Islam telah mengajarkan tentang beberapa hal agar kita mengisi saat-saat Lebaran dengan gembira tapi juga bernilai ibadah.

Rasulullah saw dan umat Islam pertama kali menggelar perayaan hari raya IdulFitri pada tahun kedua Hijriah (624 M) atau usai Perang Badar.

Dari beberapa riwayat disebutkan, ada beberapa hal yang dilakukan Rasulullah saw dalam menyambut dan merayakan hari raya IdulFitri atau Lebaran.

1. Perbanyak Baca Takbir

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. mengumandangkan takbir pada malam terakhir Ramadan hingga pagi hari satu Syawal. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 185:

“Dan sempurnakanlah bilangan Ramadan, dan bertakbirlah kalian kepada Allah”.

Takbir IdulFitri bisa dikumandangkan di mana saja, di rumah, jalan, masjid, pasar atau tempat lainnya. Kesunahan takbir IdulFitri dimulai sejak tenggelamnya matahari pada malam 1 Syawal sampai takbiratul Ihramnya Imam Salat Id bagi yang berjamaah, atau takbiratul Ihramnya mushalli sendiri, bagi yang salat sendirian.

Pendapat lain menyatakan waktunya habis saat masuk waktu Salat Id yang dianjurkan, yaitu ketika matahari naik kira-kira satu tombak (+ 3,36 M), baik Imam sudah melaksanakan takbiratul ihram atau tidak. (Syekh Sa’id Bin Muhammad Ba’ali Ba’isyun, Busyra al-Karim, hal. 426).

2. Berhias dan memakai pakaian terbaik

IdulFitri adalah waktunya berhias dan berpenampilan sebaik mungkin untuk menampakan kebahagiaan di hari yang berkah itu. Berhias bisa dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian terbaik dan pakaian terbaik.

Lebih utama memakai pakaian putih, kecuali bila selain putih ada yang lebih bagus, maka lebih utama mengenakan pakaian yang paling bagus, semisal baju baru. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa tradisi membeli baju baru saat Lebaran menemukan dasar yang kuat dalam teks agama, dalam rangka menebarkan syiar kebahagiaan di Hari Raya IdulFitri.

Kesunahan berhias ini berlaku bagi siapapun, meski bagi orang yang tidak turut hadir di pelaksanaan Salat IdulFitri. Khusus bagi perempuan, anjuran berhias tetap harus memperhatikan batas-batas syariat, seperti tidak membuka aurat, tidak mempertontonkan penampilan yang memikat laki-laki lain yang bukan mahramnya dan lain sebagainya. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281).

3. Makan sebelum Salat IdulFitri

Salah satu hari yang diharamkan berpuasa adalah hari raya IdulFitri. Bahkan, dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa berniat tidak puasa pada saat hari IdulFitri itu pahalanya seperti orang yang sedang puasa di hari-hari yang tidak dilarang.

Sebelum Salat IdulFitri, Rasulullah Saw. biasa memakan kurma dengan jumlah yang ganjil; tiga, lima, atau tujuh. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa: “Pada waktu IdulFitri Rasulullah Saw. tidak berangkat ke tempat salat sebelum memakan beberapa buah kurma dengan jumlah yang ganjil.” (HR. Ahmad dan Bukhari)

4. Salat Idul Fitri

Rasulullah menunaikan Salat Idul Fitri bersama dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya, baik laki-laki, perempuan, atau pun anak-anak. Rasulullah memilih rute jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang dari tempat dilangsungkannya Salat Idul Fitri.

Rasulullah juga mengakhirkan pelaksanaan Salat IdulFitri, biasanya pada saat matahari sudah setinggi tombak atau sekitar dua meter. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam memiliki waktu yang cukup untuk menunaikan zakat fitrah.

5. Mendatangi tempat keramaian

Suatu ketika saat hari raya Idul Fitri, Rasulullah menemani Aisyah mendatangi sebuah pertunjukan atraksi tombak dan tameng. Bahkan saking asyiknya, sebagaimana hadist riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Aisyah sampai menjenguk kan (memunculkan) kepala di atas bahu Rasulullah sehingga dia bisa menyaksikan permainan itu dari atas bahu Rasulullah dengan puas.

6. Mengunjungi rumah sahabat

Tradisi silaturahim saling mengunjungi saat hari raya IdulFitri sudah ada sejak zaman Rasulullah. Ketika IdulFitri tiba, Rasulullah mengunjungi rumah para sahabatnya. Begitu pun para sahabatnya. Pada kesempatan ini, Rasulullah dan sahabatnya saling mendoakan kebaikan satu sama lain. Sama seperti yang dilakukan umat Islam saat ini. Datang ke tempat sanak famili dengan saling mendoakan.

7. Tahniah (memberi ucapan selamat)

Hari raya adalah hari yang penuh dengan kegembiraan. Karena itu, dianjurkan untuk saling memberikan selamat atas kebahagiaan yang diraih saat hari raya. Di antara dalil kesunahan-nya adalah beberapa hadits yang disampaikan al-Imam al-Baihaqi, beliau dalam kitabnya menginventarisir beberapa hadits dan ucapan para sahabat tentang tradisi ucapan selamat di hari raya.

Meski tergolong lemah sanadnya, namun rangkaian beberapa dalil itu dapat dibuat pijakan untuk persoalan ucapan hari raya yang berkaitan dengan keutamaan amal ini. Argumen lainnya adalah dalil-dalil umum mengenai anjuran bersyukur saat mendapat nikmat atau terhindari dari mara bahaya, seperti disyariatkannya sujud syukur.

Demikian pula riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang kisah taubatnya Ka’ab bin Malik setelah beliau absen dari perang Tabuk, Talhah bin Ubaidillah memberinya ucapan selamat begitu mendengar pertaubatnya diterima.

Ucapan selamat itu dilakukan dihadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya. Tidak ada aturan baku mengenai redaksi ucapan selamat ini. Salah satu contohnya “taqabbala allâhu minnâ wa minkum”, “kullu ‘âmin wa antum bi khair”, “selamat hari raya IdulFitri”, “minal aidin wa al-faizin”, “mohon maaf lahir batin”, dan lain sebagainya.

Pada prinsipnya, setiap kata yang ditradisikan sebagai ucapan selamat dalam momen hari raya, maka sudah bisa mendapatkan kesunahan tahniah ini. Bahkan, Syekh Ali Syibramalisi menegaskan tahniah juga bisa diwujudkan dalam bentuk saling bersalam-salaman. Karena itu, sangat tidak tepat klaim dari sebagian kalangan bahwa ucapan selamat hari raya yang berkembang di Indonesia tidak memiliki dasar dalil agama.

Berkaitan dengan ihwal tahniah ini, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani menegaskan:

“Al-Syihab Ibnu Hajar setelah menelaah hal tersebut menjawab bahwa tahniah disyariatkan. Beliau berargumen bahwa al-Baihaqi membuat bab tersendiri tentang tahniah, beliau berkata; bab riwayat tentang ucapan manusia satu kepada lainnya saat hari raya; semoga Allah menerima kami dan kalian;. Ibnu Hajar menyebutkan statemen al-Baihaqi tentang hadits-hadits dan ucapan para sahabat yang lemah (riwayatnya), akan tetapi rangkain dalil-dalil tersebut bisa dibuat argumen dalam urusan sejenis tahniah ini”.

Semoga di hari yang fitri, kita kembali bersih dari segala dosa dan segala penyakit hati. [Berbagai sumber]

pasang iklan di sini