hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Utang

Gullen, nama sebuah kota yang tiba-tiba saja bangkrut. Perekonomian macet, tanpa geliat bisnis. Penduduk yang setiap hari luntang lantung tanpa pekerjaan hanya mampu menonton kereta api yang lewat. Potret sedih itu berubah ketika pada suatu hari Claire Zachanassian, wanita pengusaha terkaya di dunia singgah ke kota itu. Ia membawa dana besar untuk membangun kembali kota yang nyaris mati itu. Tak tanggung-tanggung, Claire menyumbang satu triliun untuk ekonomi Gullen. Denyut kehidupan berdetak lagi.

Sebagai kapitalis sejati tentu saja Claire punya hitungan, atau seperti dikatakan Milton Friedman, No Lunch Free. Ia meminta imbalan kematian calon wali kota yang justru sangat dihormati oleh penduduk Gullen. Sebuah kompensasi paradoksal yang sulit diterima akal sehat. Namun di sisi lain, kemiskinan adalah hantu yang menggoyahkan sendi moralitas. Bukankah kedatangan Claire merupakan pelita yang membuat kota Gullen kembali terang, sementara Alfred III, kekasih di masa lalu Claire yang berkhianat, sudah bukan sosok penting lagi, Maka, demi kemakmuran yang sejak lama diperjuangkan, kematian Alfred disepakati sebagai sebuah kewajaran.

Calire hanya tokoh rekaan Friedrich Durrenmatt dalam lakon drama The Visit. Naskah dengan judul asli Der Besuch der alten Dame itu ditulis pada 1956. Setting cerita mengambil sebuah kota fiktif bernama Gullen tahun 50-an. Teater Koma menarik kisah itu ke kota Goela tahun 2007. Ada jarak yang jauh antar keduanya. Tapi pesan yang ingin disampaikan tetap sama, tentang moralitas, kesetiaan dan humanisme. Durrenmatt membangun konflik  lewat pengusaha kaya yang  dibuai oleh dendam yang bergairah.

Claire, seperti juga tokoh lain yang sukses mendulang materi berlimpah memang cenderung mendikte kehidupan. Ia representasi penguasa yang bisa membeli apa saja, bahkan negara sekalipun.

Tahun ketika The Visit ditulis, konspirasi ekonomi dunia baru saja mulai. Amerika Serikat (AS) memainkan peran politiknya di Timur Tengah. Debut intelijennya  diawali lewat penggulingan Perdana Menteri Iran, Mohammad Mossadegh. Ia dianggap penentang Barat lantaran tindakannya menasionalisasi semua aset minyak Iran. Di awal 60-an korporasi internasional penyebar utang ke belahan dunia ketiga memainkan peranan signifikan. Hasilnya, sejumlah negara di belahan selatan tenggelam oleh jerat utang yang tidak masuk akal lantaran nilainya jauh lebih besar dari pendapatan nasional negara bersangkutan.

Memasuki 1970, utang negara berkembang bergerak naik dari US$100 miliar, menjadi US$334 miliar pada 1977. Utang itu pada 1992 sudah mencapai US$1.223 miliar, dan terus mendaki dengan rata-rata kenaikan 20% per tahun.   Hingga masuk tahun 2000 masih belum ada yang aneh dengan utang untuk pembangunan dunia ketiga itu. Sampai suatu ketika kita terhenyak oleh pengakuan John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man yang terbit pada 2004. Di balik kucuran utang itu ada konspirasi membangkrutkan negara-negara di kawasan selatan.

Ketika meletakan jabatan pada 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewariskan utang luar negeri sebesar Rp2.608 triliun (24,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Di akhir masa jabatan pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2019 menjadi Rp4.786 triliun (30,6% dari PDB). Level utang luar negeri Indonesia mulai serius menjelang akhir 10 tahun kekuasaan Jokowi yang pada April 2024 sudah Rp8.338,34 triliun (34,64% dari PDB). Pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto tinggal mencicil utang pokok sekitar Rp800 triliun per tahun di luar bunga.

Untuk menjadi bangsa bermartabat kita harus berhenti berutang. Seruan itu sejak lama mengemuka lewat aksi-aksi menentang keberadaan dana moneter internasional di Indonesia. Masalahnya, apakah perekonomian kita memang sudah mampu melenggang tanpa utang.[]

pasang iklan di sini
octa forex broker