Ruhunuzdan şeyler yaptığınızda, nehrin içinde hareket ettiğini hissedersiniz, bir sevinç.
Rumi mengatakan kalimat di atas yang bermakna: Saat anda menjalani hidup dengan ikhlas, maka di dalam diri anda akan mengalir sungai kehidupan, itulah kebahagiaan. Dengan kata lain, bagi Rumi atau lengkapnya Jalaluddin Rumi, antara keikhlasan dan kebahagiaan memiliki korelasi yang sangat kuat, hampir 100 persen.
Rumi menghabiskan masa kecilnya di dua kota: Balk (sekarang wilayah Afghanistan) dan Konya, ibukota Kesultanan Seljuk, yang kini menjadi wilayah Turki. Lahir di Balk 30 September 1207 Masehi, Rumi pindah ke Konya setelah melaksanakan haji antara tahun 1215 dan 1220. Ayahnya seorang ulama dan pendakwah, Bahauddin Walad. Sang ayah wafat tahun 1231, Rumi menggantikan posisi ayahnya. Pada usia 24 tahun, Rumi membuktikan diri sebagai ulama yang diperhitungkan. Namun, yang membuatnya mendunia adalah puisi-puisinya.
Rumi menulis sekitar 70.000 bait puisi, dan dibukukan ke dalam karyanya yang sangat fenomenal: Pertama, Diwan-e-shams-e-Tabrizi, koleksi puisi lirik dengan jumlah ayat tetap dan sajak berulang, bertema cinta, dan disetel dengan musik. Kedua, Mathnavi, kompilasi enam volume puisi, yang ditulis dalam gaya didaktik, dimana puisi-puisi itu dimaksudkan untuk memberi informasi, menginstruksikan dan menghibur pembaca. Mathnawi berusaha menjelaskan berbagai segi kehidupan spiritual.
Karya Rumi telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Rusia, Jerman, Urdu, Turki, Arab, Perancis, Italia, Spanyol. Rumi wafat di Konya, 17 Desember 1273, di usia 66 tahun. Sekarang, kuburannya, mesjidnya dan kamar-kamar para santrinya menjadi Mevlana Museum yang dikunjungi oleh orang seluruh dunia.
Pada tahun 2000-an, Rumi menjadi seorang yang paling banyak karya puisinya dibaca orang Amerika. Banyak orang mengenal Rumi sebagai seorang sufi, padahal dia bangsawan yang menawan dan kaya raya, seorang teolog jenius, profesor hukum dan sarjana yang cerdas lagi bijaksana.
Shahram Shiva mensurvai 50 orang partisipan workshop tentang Rumi di Amerika, dan menanyakan mengapa Rumi begitu berarti bagi mereka. Jawabannya ada 12 alasan, yaitu: 1) Tidak hanya Intelektual tetapi menyentuh Hati. 2) Tingkat Kedalaman: Mereka menemukan banyak tingkatan dalam puisi Rumi. Semakin mereka belajar tentang Rumi, semakin mereka menghargai kedalamannya dan semakin didorong untuk menggali lebih jauh. 3) Persatuan: Mereka menemukan rasa persatuan dan persaudaraan universal. 4) Teman: Mereka menemukannya menjadi teman. 5) Proses Pribadi: Membaca Rumi untuk mereka adalah proses pribadi. Mereka mengasosiasikan diri dengan dia.
Keenam, Rahmat Turun: Setiap kali puisi Rumi dibacakan, mereka merasakan rahmat turun. 7) Kerinduan: Mereka terkait dengan rasa rindu dalam puisi Rumi. 8) Kisah Cinta: Rumi seperti kekasih bagi beberapa peserta. 9) Jembatan Budaya: Mereka menemukan Rumi sebagai pembentuk jembatan budaya bagi Persia, Turki, Afghan, dan Arab di negara ini. Melalui Rumi, beberapa orang Timur Tengah dan Timur Dekat menemukan penerimaan baru di AS. 10) Mereka Tidak Menyukai Puisi: Beberapa menyatakan tidak suka puisi tetapi mereka suka membaca puisi Rumi. 11) Berpartisipasi dalam Proses: Mereka menemukan Rumi sangat ekspresif dan mendapati diri berpartisipasi dalam proses internal Rumi sendiri. 12) Panduan Spiritual: Mereka menemukan Rumi sebagai panduan spiritual.
Kekhasan Rumi adalah mengaitkan amal seseorang dengan simbol alam. Lihatlah Quote Rumi berikut ini: 1) Dalam hal kedermawanan dan menolong orang, jadilah seperti sungai. 2) Dalam hal kasih sayang dan berkah, jadilah seperti matahari. 3) Dalam menutupi aib orang, jadilah seperti malam. 4) Dalam hal kesederhanaan dan kerendahan, jadilah seperti bumi. 6) Dalam hal toleransi, jadilah seperti laut.
Dalam lawatan penulis Ke Mevlana Museum di Konya, Turki, 22 Oktober 2019, penulis merasakan sendiri suasana agama dan kebesaran seorang Jalaluddin Rumi.
Rumi dan Ghazali
Dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali memberi permisalan makna Ikhlas dengan sangat sederhana: “Ilmu itu bibit, Amal itu menanamnya, dan Ikhlas itu adalah airnya”. Artinya, untuk mendapatkan hasil pertanian yang baik, diperlukan bibit yang baik. Tidak mungkin dari bibit yang jelek diperoleh hasil yang baik. Bibit itulah permisalan Ilmu. Untuk mendapatkan hasil dari suatu amal yang baik, ada ilmunya. Ilmu tersebut harus diusahakan dengan cara mencarinya dan menuntutnya.
Setelah bibit yang bagus ada, tidak ada gunanya bibit tersebut jika tidak ditanam. Walaupun bibitnya kualitas terbaik, tidak akan menghasilkan apa pun jika tidak ditanam. Begitu juga dengan ilmu; jika tidak diamalkan, tidak akan menghasilkan pahala. Oleh karena itu, ilmu yang baik adalah ilmu yang diamalkan. Para sahabat Rasulullah SAW menuntut ilmu dengan niat untuk diamalkan.
Lalu, setelah bibit tadi ditanam, jika tidak ada airnya, akan sulit menghasilkan panen yang terbaik. Bisa jadi gagal panen. Air itulah keikhlasan. Jika amal yang dilakukan seseorang tidak ikhlas, hasil amalnya bisa jadi tidak ada, seperti gagalnya panen akibat ketiadaan air.
Bibit yang baik saja tidak ada gunanya jika tidak ditanam.Menanam bibit yang baik itu pun tidak ada gunanya jika tidak diberi air.Maknanya, Ilmu yang diperoleh tidak ada gunanya jika tidak diamalkan, dan amal juga tidak ada gunanya jika tidak ikhlas.Lebih lanjut, Ikhlas itulah kunci kebahagiaan, yang dalam versi Inggris: “When you do things from your soul, you feel a river moving in you, a joy.” ~ Rumi.
Ikhlas Tertinggi
Ibn Athaillah, pengarang kitab Al Hikam, membagi tingkatan Ikhlas menjadi tiga: Yakni, Ikhlas Abidin, Ikhlas Muhibbin dan Ikhlas Arifin. Ikhlas Abidin adalah ikhlas seorang ahli ibadah yang beribadah semata mata karena Allah. Ikhlas Muhibbin adalah Ikhlas seorang pecinta, yang beramal semata mata karena kecintaan kepada Allah swt. Ikhlas Arifin adalah ikhlasnya orang yang akrab dengan Allah, yaitu memandang hatinya kepada Allah yang menggerakkan dan mendiamkannya. Ikhlas Arifin adalah tingkatan yang tertinggi. Rumi menuliskannya dalam tiga bait yang memukau, berjudul HANYA KAU, terjemahan Sapardi Djoko Damono:
Hanya Kau yang kupilih, di antara segala isi dunia;
Akankah Kau biarkan aku duduk berduka?
Hatiku tak lain pena di sela-sela jariMu,
Kaulah penyebab gembira atau sedihku.
Selain dari yang kuinginkan, apa pula yang kudapat?
Selain dari yang Kau tunjukkan apa pula yang kulihat?
Dalam diriku Kau tumbuhkan: terkadang duri, terkadang mawar;
Dan kucium bau mawar, dan kucabut duri;
Kalau memang Kau biarkan aku begitu, begitulah aku;
Kalau Kau biarkan aku begini, begini pulalah aku.