hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

ORAN

RIBUAN ekor tikus tiba-tiba mati. Bangkainya bergelimpangan di jalanan umum, rumah penduduk hingga atap gedung perkantoran. Semula ditanggapi biasa-biasa saja oleh pemerintah kota. Ketika tumpukan bangkai makhluk pengerat itu membukit, kecemasan mulai melanda. Kepanikan memuncak menyusul tewasnya sejumlah penduduk seperti tikus-tikus naas itu. Epidemi sampar melanda Oran, sebuah kota kecil yang tenang, koloni Prancis di wilayah utara Aljazair.

Kisah tentang sebuah kota bernama Oran yang ditutup lantaran sampar adalah imajinasi Albert Camus dalam novel Le Peste, ditulis pada 1947. Absurditas mewarnai sejumlah karyanya, tetapi di situ pula kekuatan filosof yang kental dengan eksistensialisme ini.

Seperti dalam Le Mythe de Sisyphe (1942), tentang sebuah pencarian makna yang sia-sia. Sisyphe (Sisifus), anak Dewa Angin, Raja Korintus dalam mitologi Yunani itu, dihukum dewa, dimana ia harus mendorong sebuah batu karang ke puncak gunung. Sesampai di puncak, batu terguling lagi ke bawah. Ia harus turun lagi untuk mendorong batu yang sama. Demikian berulang-ulang. Absurd memang.

Dalam Le Peste (di-Indonesiakan oleh NH Dini pada 1985 dengan judul Sampar), absurditas Camus menyembul dalam banyak tafsir. Tikus-tikus kotor yang mati di tengah kota Oran yang bersih, tentang tokoh utama, Bernard Rieux, dokter yang tak mampu menjadi penyembuh di tengah epidemi sampar. Atau juga tentang pemuka agama yang mohon pertolongan Tuhan dengan tidak berbuat sesuatu.

Warga Oran bukan kaum saleh, tetapi di tengah kecemasan itu, mulut-mulut berkomat-kamit menyemburkan ribuan doa ke langit. “Saudara-saudaraku ! Bencana mencengkeram kota kita karena memang sepantasnyalah Anda sekalian mendapatkan kemalangan itu.” Terdengar suara lantang Pastour Paneloux dari mimbar Katedral. Warga kota semakin gelisah. Memang bukan faktor keimanan yang menyeret mereka untuk mengikuti pekan doa itu, melainkan karena terisolasinya ekonomi Oran.

Sejatinya doa memang merupakan rangkaian permohonan yang tak terputus alih-alih pelarian dari rasa takut. Dalam Homo Deus, Yuval Noah Harari, kita simak seorang budak Afrika bernama Fransisco de Egula membawa virus cacar (smallpox) ke Meksiko. Dalam keadaan menggigil, ia ditidurkan di rumah penduduk di kota Cempoallan. Tahun itu, 1520, ilmu kedokteran asing dengan smallpox, dan di Cempoallan sang virus berkembang biak dengan cepat, menulari penduduk dan menimbulkan gelombang kematian massal.

Masyarakat suku Maya yang masih hidup dalam alam mistis melihat virus itu sebagai representasi kemarahan tiga dewa jahat. Mereka terbang dari desa ke desa pada malam hari sambil menulari banyak orang dengan virus itu. Sementara masyarakat suku Aztec menyebutnya sebagai ulah para dewa atau bisa jadi sihir hitam orang-orang kulit putih. Maka, para pendeta menangkal smallpox dengan rangkaian doa, mandi air dingin dan ritual mistis lainnya.

Semua sia-sia, puluhan ribu mayat tergeletak membusuk di jalan. Tak ada yang berani menyentuh apalagi menguburkannya. Hanya dalam tempo 10 bulan, Mei hingga Desember 1520, Meksiko yang semula berpenduduk 22 juta orang tersisa 14 juta orang saja. Gelombang penyakit aneh yang silih berganti menyerang Meksiko. Pada 1580, penduduk yang tersisa tak sampai satu juta orang.

Epidemi, seperti diulas Harari, membunuh puluhan juta jiwa hingga memasuki abad ke-20. Flu Spanyol sedikitnya merenggut lebih dari 100 juta nyawa manusia di dunia, dua setengah kali lipat korban perang dunia pertama (1914-1918). Perang yang terus berkecamuk di berbagai belahan dunia agaknya merupakan epidemi yang lain. Seperti kata Camus, sampar dan perang selalu menyergap manusia tanpa persiapan.  (Irsyad Muchtar)

pasang iklan di sini