hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

KOLKHOZ II

Oleh : Irsyad Muchtar

“Kamerad Stalin seluruh anggota Politbiro sudah ada di sini, bicaralah pada kami.” Ia tak bereaksi, juga tak membuka matanya. Tubuh tuanya yang kusut tergolek payah di ranjang istana Kremlin. Setelah lima hari tak berdaya diserang stroke, Joseph Stalin, diktator besar abad 20 itu wafat pada 6 Maret 1953 dalam usia 75 tahun. Sejenak rakyat Uni Soviet dapat menarik napas lega kendati belum sepenuhnya lepas dari himpitan totalitarianisme.
Di rentang tiga dasa warsa kekuasaannya Stalin dikenal sebagai sosok penguasa paling brutal dengan kekejaman tiada tara. Ia bertanggungjawab atas kematian para lawan politik, orang-orang yang tidak disukai hingga puluhan juta petani Rusia. Dalam bukunya: *Stalin, The Court of The Red Tsar*, Simon Sebag Montefiore menulis sekitar 20 juta orang dibunuh, 28 juta dideportasi, dan 18 juta di antaranya diperbudak di kamp kerja paksa, *Gulag*. Semua pembantaian itu atas nama kepentingan negara. Mereka yang tewas dan dideportasi kebanyakan para petani korban program kolektivitasasi pertanian, *Kollektivnoye Khosyaystvo (Kolkhoz)* yang dimulai pada 1929. Jutaan hektar tanah milik pribadi, para petani kaya (kulak), direbut menjadi tanah pertanian milik kolektif sesuai idiologi komunis yang menafikan hak milik atas orang perorang.
Kita kemudian tahu, ketika pada 1990 Mikhail Gorbachev tampil menjadi orang nomor satu di negeri tirai besi itu, sejarah berubah drastis. Iklim *Glasnost* (keterbukaan) yang diinisiasi, anak miskin dari desa Privolnoye ini menguak tabir kelam program *Kolkhoz* yang menelan jiwa hampir 10 juta petani.
Sebuah biografi tentang Gorbachev menyebutkan, kemiskinan dan kelaparan yang tak tertahankan dialami jutaan petani di seantero Rusia akibat *Kolkhoz*. Orang tua Gorbachev mengalami masa pahit itu, ia sempat tidak sekolah akibat sang ibu tak mampu membelikan sepasang sepatu. “Jual saja apa yang bisa dijual. Misha harus tetap ke sekolah,” pesan ayahnya, Sergei Andreyevich dari medan pertempuran melawan Jerman. Seusai pembubaran Uni Soviet pada 1991, *Kolkhoz* sering kali diplesetkan dengan istilah koperasi yang kental dengan pengendalian dari atas (_top-down_), bahkan acapkali disetarakan dengan KUD (Koperasi Unit Desa) yang kelahirannya memang sarat intervensi kekuasaan.
Di masa keemasannya, KUD tak lebih dari alat pemerintah untuk pengamanan program swasembada pangan, lantaran itu KUD tenggelam dalam berbagai kredit program pemerintah tanpa diberi pilihan mengembangkan bisnisnya sendiri.
Tentu saja KUD bukan *Kolkhoz*, dan jauh lebih beradab karena ekonomi Indonesia di era orde baru dalam keadaan baik-baik saja.
Tetapi, sering dilupakan sebuah sistem koperasi tidak bisa dimobilisasi. Koperasi harus tumbuh dari bawah (_bottom-up_) dan atas dasar kebutuhan dan kepentingan yang sama dari para anggotanya (_mutual self-help_). Terbukti kemudian, KUD kehilangan makna sebagai badan usaha petani ketika rezim penopangnya, Orde Baru, ambruk.
Lalu, pelajaran apa yang bisa kita petik dari traumatis KUD yang kini kebanyakan hanya tinggal papan nama. Jawaban gampangnya memang revitalisasi kendati tidak semudah mengucapkannya. Apalagi jika jawaban itu hanya bagian dari program kebijakan birokratis yang belakangan terbukti hanya jargon kosong.
Di tengah persaingan pasar dan tren digitalisasi yang masif dewasa ini revitalisasi KUD adalah keniscayaan. Tetapi jika campur tangan birokrasi penguasa masih melekat erat, sebaiknya lupakan saja konsep pemberdayaan itu. Mengutip Jack Mc Kenzie (Caltex), dalam buku Ian Batey, *Asian Branding, A Great Way to Fly*, para pemimpin bisnis seharusnya berubah dari struktur organisasi tradisional ‘memerintah dan mengawasi’ yang bersifat _top-down_ menjadi organisasi berstruktur bisnis yang menciptakan lingkungan budaya terbuka dan menantang. Batey bicara tentang abad 21, abad konsumen, dan pembuatan merek dagang yang akan menjadi pemain penting dalam peta pemasaran. Koperasi memang butuh dukungan pemerintah berupa kebijakan, akses dan regulasi yang memihak. Hanya saja jika dukungan tersebut masuk terlalu jauh, maka yang terjadi justru intervensi. Campur tangan yang di masa lalu telah memperlemah daya saing koperasi. []

pasang iklan di sini