Oleh : Irsyad Muchtar
Penyerbuan yang brutal itu pecah di pagi hari, pukul 06.30 Sabtu 27 Juli 1996. Ratusan orang berseragam kaus merah bertuliskan “PDI Pendukung Kongres Medan” merangsek masuk kantor partai politik di kawasan Menteng Jakarta Pusat itu. Bentrok fisik tak terhindarkan, korban luka berjatuhan dan sejumlah nyawa melayang. Di luar kantor, ratusan aparat kepolisian dan militer memblokir lokasi kejadian, membiarkan kebrutalan berlangsung. Pemerintah, tepatnya penguasa, terang-terangan terlibat penuh dalam konflik internal partai berlambang kepala banteng itu.
Tentu saja intervensi itu tindakan yang salah. Tetapi siapa berani menginterupsi Orde Baru (Orba), sebuah rezim sangar di bawah kendali penguasa bergaya bak raja Prancis Louis XIV, L’etat c’est moi; absolutisme monarki yang memusatkan semua kekuasaan politik, militer dan ekonomi pada sosok raja. Semuanya harus seragam di bawah satu kendali dan mereka yang berbeda adalah musuh. Naasnya, Megawati Sukarnoputri tak hanya memilih beda, Ia juga sosok antitesis Orba, rezim yang menafikan berbagai simbol berkonotasi Sukarnois. Presiden Soeharto menugaskan gerakan de-sukarnoisasi kepada orang terdekat yang paling dipercaya, Ali Moertopo. Jenderal yang banyak memainkan peran kontroversial ini membentuk operasi intelijen menjelang Pemilu 1971. Sasarannya bukan untuk menghancurkan pengikut Sukarno, tetapi hanya memperlemah kekuatannya terutama partai-partai politik dan organisasi profesi.
Lewat operasi khusus (opsus) Ali Moertopo leluasa mengintervensi rapat-rapat dan musyawarah partai sembari memanipulasi konvensi-konvensi yang dapat memperlemah posisi kepemimpinan di kubu lawan. Melalui politik pecah belah ala kolonial Belanda, penguasa seolah tampil sebagai penengah dan mendorong dipilihnya pemimpin yang akomodatif dengan kebijakan politik pemerintah. Korban opsus berjatuhan, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kehilangan banyak kursi di Pemilu 1971.
Perpecahan kepemimpinan di tubuh Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 1970, hingga Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1970 di Palembang. Rosihan Anwar dan Yakob Oetama terpilih menjadi Ketua Umum dan Sekjen PWI mengalahkan BM Diah dan Manai Sophian. Penguasa menolak hasil kongres dan mengakomodasi Diah dan Manai. PWI pun terbelah yang dengan susah payah dapat disatukan kembali melalui Kongres PWI “Integrasi” ke XV 1973 di Tretes, Jawa Timur.
Agaknya, warisan Ali Moertopo itu yang kembali dimainkan oleh Orba ketika menggusur Megawati Sukarnoputri dari posisi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia. Rival yang dihadirkan adalah Soeryadi yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI dalam kongres tandingan PDI pada 22 Juni 1996 di Medan.
Sebelumnya, dalam kongres Luar Biasa PDI pada 6 Desember 1993 di Surabaya, Megawati telah dipilih sebagai Ketua Umum PDI Periode 1993-1998. Kendati belum usai masa jabatan Megawati, Rezim Orba melalui Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letjen Syarwan Hamid, mengumumkan pemerintah mengakui PDI hasil Kongres Medan. Menolak eksistensi PDI Megawati.
Perpecahan yang direkayasa penguasa itu akhirnya bermuara pada penyerbuan brutal dan perebutan paksa markas PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta. 5 tewas, 149 luka-luka dan 23 orang hilang. Megawati tergusur dan kantornya diambil alih, namun sosoknya kian kokoh sebagai simbol perlawanan terhadap kemapanan. Ketika rezim Orba runtuh dilanda gelombang reformasi, warisan opsus itu tetap tersisa. Aparat penguasa masih saja doyan intervensi dan sewenang-wenang.
Jika menyimak buku Jose Ortega Y Gasset, La Rebellion de La Massas (The Revolt of the Masses) kita tidak heran. Dalam buku terkenalnya yang terbit pada 1939 itu, Ortega mempertanyakan para pemimpin yang muncul dari sebuah gerakan massa. Namun apa jadinya jika kepemimpinan dipegang oleh orang-orang yang tidak memiliki kualifikasi moral dan intelektual. Saat menerima laporan banyaknya praktik intimidasi dan intervensi dalam pilpres 2024, Megawati hanya bisa mengeluh.
“Mengapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru.”[]