Kontribusi UMKM terhadap perekonomian tidak perlu diragukan lagi. Usaha yang dilakoni wong cilik ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 97% dan menopang 60% produk domestik bruto (PDB). Sektor ini juga berperan besar dalam jaring pengaman sosial. Bahkan, saat terjadi krisis UMKM menjadi katup penyelamat ekonomi negeri.
Dengan kontribusi yang signifikan itu, ada raison d’etre jika dalam beberapa pasal di rancangan Omnibus Law yang sedang dibahas parlemen, perlindungan usaha dan kesempatan berusaha bagi UMKM termasuk menjadi daftar prioritas.
Meski demikian, harus diakui sebagian pelaku UMKM masih kesulitan baik dalam akses permodalan, ketersediaan bahan baku produksi sampai jalur pemasaran. Oleh karenanya, sudah sepantasnya kita mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan berbagai program pemberdayaan terhadap UMKM untuk mengatasi beragam problematika tersebut.
Khusus terkait permodalan –yang paling sering dan masih menjadi masalah utama– bagaimana kemudahan mengakses jutaan pelaku UMKM ke perbankan dan non-bank juga harus menjadi salah satu prioritas penanganan.
Kita perlu menengok keberhasilan peraih Nobel Perdamaian Muhammad Yunus yang sejak dekade ‘70-an memperkenalkan skema kredit mikro –suatu bentuk pinjaman yang jumlahnya relatif kecil buat orang-orang yang tidak dapat diakses oleh perbankan alias non-bankable— berhasil membantu jutaan orang di Bangladesh dengan mendirikan Grameen Bank (artinya Bank Desa).
Hipotesa Yunus, setiap orang dilahirkan dengan potensi yang sama besarnya, hanya saja berada di lingkungan pendukung yang berbeda. Akibatnya, tidak semua orang dapat mengaktualisasikan potensi diri mereka yang sesungguhnya. Ia yakin si miskin pun pasti memiliki bakat atau keterampilan yang berpotensi ekonomi.
Selama tiga tahun (1976-1979) Yunus mencoba dan mengevaluasi idenya melalui sebuah proyek kredit mikro untuk orang miskin (banking for the poor). Ternyata hasilnya benar-benar dapat mematahkan pesimisme para bankir yang pada awalnya mencemooh idenya. Memang benar orang miskin tidak memiliki jaminan, namun ternyata orang miskin di pedesaan memiliki modal sosial berupa rasa solidaritas yang tinggi. Modal sosial tersebutlah yang oleh Yunus digunakan sebagai jaminan di dalam metode penyaluran kredit mikronya.
Yunus peraih doktor di bidang ilmu ekonomi dari Vanderbilt University di Tennessee, Amerika Serikat merancang agar setiap pemohon pinjaman terlebih dulu membentuk kelompok yang terdiri dari lima orang. Anggota-anggota kelompok tidak dapat meminjam secara bersamaan, tetapi harus secara bergiliran. Anggota lain hanya bisa meminjam jika anggota yang meminjam lebih dulu telah dapat membuktikan kedisiplinan dan kejujurannya dalam membayar cicilan.
Selain itu, ada pula mekanisme tanggung renteng. Dalam mekanisme ini, jika seorang anggota kelompok sedang dalam kondisi tidak bisa membayar cicilan, anggota lainnya akan patungan untuk membayarkan cicilan si anggota yang sedang mengalami kesulitan tersebut. Setiap pinjaman pertama hanya boleh dipergunakan untuk tujuan produktif atau mendukung usaha.
Yunus yang juga guru besar di Universitas Chittagong, Bangladesh ingin memperbesar skala proyeknya. Selain memperluas manfaat, ia ingin menguji apakah model yang ia ciptakan itu dapat tetap efektif jika skalanya diperbesar (scalable model). Akhirnya, ia menggalang dana dari beberapa lembaga donor besar, salah satunya Ford Foundation yang pada 1981 memberikan bantuan sebesar US$770.000 yang perjanjian peruntukannya adalah sebagai dana jaminan pinjaman (loan guarantee fund). Yunus pun lalu dapat dengan gagah kembali datang ke bank buat mendapatkan pinjaman karena sudah memiliki komitmen dana dari Ford Foundation sebagai jaminan. Tingkat pengembalian kredit mikro yang disalurkan pun terbukti sangat tinggi, sekitar 99 persen.
Di Indonesia, ide Yunus dengan Grameen Bank-nya cukup berhasil dipraktikkan oleh beberapa lembaga keuangan baik perbankan, non bank dan Koperasi. Sebut saja Koperasi Setya Bhakti Wanita di Surabaya yang juga mayoritas beranggota kaum perempuan seperti nasabah Grameen. Koperasi ini sangat dikenal membantu UMKM di Jawa Timur serta mampu mempraktikkan sistem pinjaman tanggung-renteng dengan baik dan beromzet Rp 300 miliar per tahun.
Senada model pinjaman Grameen dan memihak UMKM juga dilakukan oleh Bank Bukopin via unit Swamitra di seluruh Indonesia. Hal yang sama dikerjakan oleh BRI. Hanya saja, tingkat kredit bermasalah alias NPL (non perfoming loan) kedua perbankan ini perlu diperbaiki. Pihak Permodalan Nasional Madani (PNM) juga berkhidmat membantu kalangan UMKM melalui program ULaMM atau Unit Layanan Modal Mikro di kisaran pinjaman Rp 5 juta – Rp 10 juta per nasabah.
Kabar mutakhir, sebuah Koperasi Credit “Keling-Kumang” di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat beranggota 180 ribuan orang dan mayoritas pelaku UMKM mampu memutar omzet Rp 1,4 triliun per tahun di sebuah kawasan 9 jam dari Pontianak.
Sedangkan terkait pemihakan negara terhadap UMKM dan pengaruh perdagangan dunia, peraih Nobel Ekonomi 2001 Joseph E Stiglitz dan penulis buku Globalization and Its Discontents secara khusus menyarankan kepada Indonesia. Yakni, harus mengerjakan reformasi struktural perekonomian dengan meningkatkan daya saing ekspor dan kemandirian ekonomi guna membawa defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat.
Campur tangan pemerintah diperlukan, karena globalisasi tak otomatis menguntungkan UMKM. Di sisi lain, Amartya Kumar Sen peraih Nobel Ekonomi 1998 dan penulis buku Development as Freedom mengingatkan mengenai ekonomi kesejahteraan dan juga hubungan antara demokrasi dengan kesejahteraan manusia.
Lulusan Harvard University ini melihat kapitalisme sebagai nilai kebaratan ada gunanya bagi negara-negara berkembang. Kapitalisme menggairahkan perdagangan dan industri di dalam suatu negara. Namun ia tidak menampik kapitalisme juga menciptakan jurang kian menganga antara kaum kaya dan kaum miskin. Oleh karena itu, kapitalisme harus dapat dikendalikan dengan menyuntikkan nilai-nilai ketimuran. Mengapa? Karena kearifan Timur sangat penting di dalam perekonomian, terutama untuk mencegah sifat serakah alias mengajarkan seseorang agar tidak hanya mementingkan diri sendiri.
Ada pula ekonom Peraih Nobel 2008 Paul Krugman yang antara lain menulis buku Micro Economics bahkan pernah menyarankan khusus–saat datang ke Indonesia–agar Indonesia memaksimalkan potensi SDA dan SDM, bukan hanya keunggulan keringat.
Akhirnya, terkait akses permodalan bank maupun non-bank bagi UMKM, banyak orang beranggapan mereka masih terganjal di persoalan jaminan alias kolateral yang harus likuid. Solusi buat persoalan ini, ekonom dari Peru Hernando De Soto menawarkan sebuah cara yang tidak konvensional. Menurut dia, orang menjadi miskin bukan karena tak punya modal. Melainkan karena negara tidak memberikan legalisasi atas aset-aset mereka.
Sekali lagi, mengingat besarnya potensi UMKM dilihat dari berbagai sudut pandang: optimalisasi SDA dan SDM, mendorong ekspor, kontribusi mengurangi defisit ekonomi negara, mengurangi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan, pembukaan lapangan kerja, memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengakselerasi permodalan mandiri secara sinergis tersebut, maka sudah mendesak waktunya agar negara atau pemerintah wajib memihak UMKM. Akankah Omnibus Law dapat menjadi regulasi garda terdepan dalam memberdayakan UMKM? Kita sungguh berharap.
* anggota Komisi VI DPR, mantan Menteri Desa-PDTT