hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

McDonaldisasi

No two countries that both had McDonald’s had fought a  war against each other since each got its McDonalds   –Thomas L Friedman. 

Subuh dini hari, pada Rabu 31 Januari 1990, sekitar 5 ribu orang memadati sebuah kedai makanan cepat saji yang baru saja dibuka, di Pushkin Square, alun-alun kota Moskow. Menjelang tengah hari, orang-orang kian banyak berdatangan dan membentuk antrean yang  mengular.  Hari itu, lebih dari 30 ribu orang rela berdiri berjam-jam sekadar  untuk mencicipi sebuah produk jajanan cepat saji pertama di negeri tirai besi.  McDonald’s nama resto itu, tak hanya  menoreh sejarah membuka gerai  terbesarnya di dunia,  jaringan waralaba ini  merepresentasi  kedigdayaan kapitalisme Amerika, menerobos kokohnya tembok Kremlin yang dingin, ikon politik Uni Soviet yang kala itu tengah menuju keruntuhan.  

Setahun berselang, pada Desember 1991 ketika negara komunis terbesar itu benar-benar bubar tergerus Perestroika dan Glasnost yang dihembuskan Gorbachev,   antrean panjang untuk  sepotong burger di McDonald’s (McD) tetap mengular. Padahal harga kudapan produk negara kapitalis itu tak bisa dibilang murah. Untuk paket Big Mac misalnya, setara setengah upah harian rata-rata pekerja di Rusia. Tetapi, kehadiran McD bagi rakyat Rusia bagaikan sebuah eforia pembebasan, sebuah ekspresi  lepas dari keterkungkungan yang panjang terhadap dunia luar. Lewat McD kaum muda Rusia, seperti warga dunia lainnya juga ingin mabuk konsumtivisme ala Amerika, mengenakan casual blue jean Levi’s, mengisap sebatang rokok Marlboro, mengudap french-fries  sambil menenggak sebotol Coca Cola. 

Ketika Maret 2022 lalu, McD mengumumkan menutup 850 restonya di seantero Rusia, sebagai respon atas invasi ke Ukraina, negeri yang dingin itu terasa kian membeku. Warga Rusia tiba-tiba merasa kehilangan kegembiraan seiring raibnya McD di muka publik. Mereka menyerbu sejumlah platform digital yang menjual menu McD. Kesempatan itu dimanfaatkan para reseller  membandrol harga selangit pada menu-menu McD.  Satu paket Big Mac dibandrol 5 ribu rubel setara Rp 830 ribu.  Apa yang membuat orang-orang begitu menggandrungi McD ? Inilah magnit modernisasi, budaya pop Amerika  yang menjalar bersama arus kapitalisme global; merasuk di berbagai belahan negara, kroni Amerika.

Dirintis pertamakali oleh dua bersaudara Dick dan Mac pada 1940, cerita tentang  McD biasa-biasa saja hingga kemudian dibeli oleh Ray Kroc pada 1961 seharga US$ 2,7 juta. Kroc awalnya  adalah  pedagang keliling, penjaja mesin blender (mixer) untuk beberapa restoran di AS.  Salah satu pelanggannya adalah Dick dan MacDonald,  pedagang hamburger di San Bernardino, California.  Salesman ini  memang pemasar ulung dengan kombinasi ambisi, ketekunan dan kekejaman. Di tangan Kroc,  McD  berubah menjadi waralaba cepat saji paling top  di seantero AS, demam McDonaldisasi di mana-mana.  Bahkan Kroc sesumbar akan membangun gerai McD lebih banyak dibanding semua gereja di Amerika. Fenomena  yang kemudian menjalar ke penjuru dunia seiring  merebaknya masyarakat konsumptif, sebuah komunitas dengan  nafsu belanja yang  tidak mengacu pada nilai guna barang tetapi lebih sebagai gaya hidup dan gengsi. Dalam iklim seperti itulah gurita bisnis McD tumbuh dan tersebar di berbagai negara belahan kapitalis tetapi juga digandrungi oleh kubu komunis.

Dengan jumlah gerai lebih  dari 39.000 lokasi tersebar di 119 negara, beralasan agaknya McD sering diplesetkan bak sebuah negara saking luasnya area pasar dirambah oleh korporat multinasional ini.  People in McDonald’s countries don’t like to fight wars. They like to wait in line for burgers, tulis Thomas L Friedman, wartawan The New York Times. Tak jelas,  apakah ungkapan pujian atau sindiran. (Irsyad Muchtar)

pasang iklan di sini