ALAM bukunya berjudul BANK KAUM MISKIN, Professor Muhammad Yunus, pemenang hadiah nobel perdamaian tahun 2006 menulis pada halaman 115: ”Saya ingin Grameen Bank yang baru ini 100 persen milik peminjam.” Walaupun pada awal pendiriannya yaitu tahun 1983, Grameen bank ini 60 persen milik pemerintah, 40 persen milik peminjam, namun pada tahun 1985 komposisinya berbalik menjadi 25 persen milik pemerintah, dan 75 persen milik peminjam. Resmilah mayoritas saham Grameen bank dimiliki oleh peminjam.
Persoalannya adalah, apakah Bank tepat digunakan untuk lembaga ini? Mari kita lihat Undang-undang yang mengaturnya. Bentuk hukum Bank Umum menurut ketentuan pasal 21 ayat 10 Undang-undang No 7 tahun 1992 dapat berbentuk perusahaan perseroan (persero), perusahaan daerah, koperasi dan perseroan terbatas. Lalu, diubah berdasarkan Undang-undang No 10 tahun 1998 yang mengatakan bahwa bank umum hanya dapat berbentuk sebagai: perseroan terbatas (PT), Koperasi, dan Perusahaan Daerah. Khusus untuk Bank Syariah, menurut pasal 7 Undang-undang No 21 tahun 2008, badan hukumnya hanya satu, yaitu Perseroan Terbatas (PT).
Dalam perseroan terbatas, suara ditentukan oleh jumlah saham yang dimilikinya. Jika seseorang individu memiliki saham yang besar, maka suaranya akan signifikan. Pemilik saham mayoritas akan menentukan direksi, mengangkatnya atau memberhentikannya. Pemilik saham mayoritas akan memiliki hak lebih dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Hal ini sangat berbeda dengan koperasi. Di koperasi, setiap anggota memiliki suara yang sama “one man one vote”. Artinya, berapapun kontribusinya pada koperasi, dia tetap memiliki satu suara, tidak lebih. Hak untuk mengangkat dan memberhentikan pengurus ada di Rapat Anggota.
PRAKTIK SYARIAH
Jika menilik pada keinginan Professor Yunus, maka bentuk badan hukum yang paling pas untuk Grameen adalah Koperasi, bukan bank. Karena beliau menginginkan 100 persen grameen ini dimiliki oleh peminjam. Berdasarkan hal inilah, pola Grameen yang dipraktikkan di Kabupaten Tangerang dengan nama Lembaga Pembiayaan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (LPP-UMKM) diubah menjadi badan hukum koperasi. Bukan hanya sekedar koperasi, tetapi koperasi jasa keuangan syariah yang bernama KPP UMKM syariah, dan pada bulan Nopember 2015 diubah menjadi Koperasi syariah Benteng Mikro Indonesia, atau disingkat dengan Kopsyah BMI.
Mengapa koperasi syariah? Alasan utamanya adalah agar muncul keberkahan kepada seluruh anggota koperasi. Bukan hanya pertambahan harta dan kekayaan, tetapi juga keberkahan. Selain itu, masyarakat Banten khususnya Tangerang adalah masyarakat yang agamis, yang menghendaki kegiatan ekonomi, apapun bentuknya, termasuk usaha simpan pinjam, tidak mengandung riba. Agama Islam dan Kristen melarang Riba dalam kitab sucinya. Dalam Islam, riba dilarang dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah, 2: 275. Sedangkan dalam Kristen, riba dilarang dalam Bibel, Lukas 6: 34-35.
Selain itu, koperasi syariah juga dapat mengelola zakat, infaq, sedekah dan wakaf (ziswaf), sesuai dengan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 11 Tahun 2017. Sebagaimana diketahui, ziswaf ini sangat penting dalam mengurangi kemiskinan. Zakat sifatnya wajib dan dibayarkan setiap tahun bagi yang hartanya memenuhi nisab. Infaq dan sedekah sifatnya sukarela, yang dibayarkan kapan saja dan sifatnya sunnah. Sementara wakaf adalah instrumen yang sifatnya abadi, dimana hasilnya dapat dimanfaatkan untuk masyarakat miskin khususnya dalam membangun perekonomiannya. Harta wakaf tidak boleh berkurang. Harta yang diwakafkan terbagi dalam 2 bagian besar, yaitu harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, serta harta bergerak seperti uang dan surat berharga lainnya. Wakaf uang ini yang belakangan marak dipraktikkan oleh koperasi syariah.
Sampai Januari 2018, koperasi yang sudah diberi izin mengelola (nazir) wakaf uang berjumlah 143 koperasi. Ada 58 koperasi pengelola wakaf uang berada di Jawa Tengah. Artinya, lebih sepertiga dari seluruh koperasi pengelola wakaf uang berada di Jawa Tengah. Di luar Jawa, baru ada 14 koperasi, yaitu di Lampung 10 koperasi, di Sumatera Barat tiga koperasi dan di NTB satu koperasi.
Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh). Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Wakaf uang ditujukan untuk menambah modal koperasi, dimana yang bisa diambil manfaatnya adalah keuntungan dari wakaf uang tersebut. Adapun pengaturannya adalah, 10 persen dari keuntungan wakaf uang adalah hak pengelola (nazir), 10 persen dicadangkan untuk mengantisipasi penurunan nilai uang, dan 80 persen digunakan untuk tujuan sosial seperti memberi bantuan kesehatan, pendidikan, dan perumahan untuk anggota koperasi yang miskin.
NAZIR WAKAF UANG
Badan Wakaf Indonesia (BWI) selaku otoritas yang mendapat mandat dari Presiden Republik Indonesia, memiliki peran untuk meneguhkan peran wakaf uang ini. Melalui divisi pembinaan dan pemberdayaan nazir, BWI akan meningkatkan kemampuan dan kapasitas pengelola (nazir) wakaf uang ini, dalam bentuk pelatihan-pelatihan, bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM. Selain itu, BWI akan membentuk asosiasi nazir wakaf uang, yang selanjutnya akan menyusun konsep Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) nazir wakaf uang. SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan (knowledge), keterampilan dan atau keahlian (skills) serta sikap kerja (attitude) yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Setelah SKKNI ini ada, maka sertifikasi nazir wakaf uang akan dikeluarkan dalam rangka membina dan memberdayakan nazir wakaf uang ini. Diharapkan, dengan nazir yang profesional, maka wakaf uang ini akan membuat koperasi tumbuh dan berkembang serta bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan keadilan ekonomi.
Jika Professor Yunus memilih Bank untuk membantu dan mengembangkan usaha mikro, maka saya memilih Koperasi. Alasan pertama, sudah jelas perbedaan bank dan koperasi, dimana koperasilah yang paling tepat untuk Indonesia yang menganut asas ekonomi ta’awun atau gotong royong. Alasan kedua, untuk tumbuhnya perekonomian rakyat yang mandiri, mesti digalang melalui koperasi. Inilah keyakinan Mohammad Hatta sang proklamator sebagai salah satu upaya untuk menghilangkan ketidak adilan ekonomi. Bukankah Sila kelima Pancasila mengatakan, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
*Penulis adalah : Ketua Pengawas Syariah Kopsyah Benteng Mikro Indonesia (BMI) dan anggota Badan Wakaf Indonesia (BWI)