Sebagaimana diberitakan oleh Republika.co.id, Jumat 20 Maret 2020 pkl 15.28 WIB, terdapat beberapa skenario yang disiapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menghadapi wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ini. Skenario pertama, moderat, dimana ekonomi masih tumbuh di angka 4 persen. Skenario kedua, terburuk, dimana ekonomi tumbuh hanya 2,5 persen bahkan bisa mencapai nol persen.
Lebih jauh Menteri Keuangan menjelaskan, angka pertumbuhan 4 persen terjadi jika penanganan covid-19 ini cepat. Angka pertumbuhan 2,5 persen bahkan nol persen terjadi jika durasi penyebaran covid berlangsung lebih lama, 3 sampai 6 bulan dan lockdown diberlakukan. Akibatnya, perdagangan internasional bisa turun 30 persen, industry penerbangan drop 75 hingga
100 persen, industry pariwisata mati suri, dan disrupsi tenaga kerja terjadi (PHK).
Skenario diatas sangat beralasan, karena pertumbuhan ekonomi diukur dengan rumus = (GDP tahun ini – GDP tahun lalu)/GDP tahun lalu. GDP atau Gross Domestic Product adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Adapun komponen GDP tersebut adalah Belanja masyarakat atau Konsumsi (C), belanja swasta atau Investasi (I), Belanja Pemerintah (G) dan Ekspor (X) serta Impor (M), dengan rumus, GDP = C+I+G+(X-M). Saat ini, sumber pertumbuhan ekonomi kita terbesar adalah Ekspor (X) dan Investasi Asing (I). Jika lockdown diberlakukan, maka dua sumber ini akan terhenti. Untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, yang mesti diusahakan adalah meningkatkan sumber lain, yaitu konsumsi (C ) dan belanja pemerintah (G). Namun, dalam kondisi lockdown, dimana masyarakat tidak dapat keluar rumah untuk bekerja, maka daya beli masyarakat akan rendah, karena mereka tidak punya penghasilan, khususnya masyarakat yang bekerja hari ini untuk makan hari esok.
Masyarakat tentunya bertanya, apa akibatnya jika ekonomi hanya tumbuh 4 persen? 2,5 persen? Atau bahkan nol persen? Dalam teori ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi 1 persen sama artinya dengan penciptaan lapangan kerja baru sebanyak kurang lebih 300 ribu orang. Penciptaan lapangan kerja ini diharapkan muncul dari investasi. Investasi tersebut bersumber dari pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta, Penanaman modal dalam negeri (PMDN), dan penanaman modal asing (PMA). Jika tumbuh 4 persen, maka lapangan kerja baru akan tercipta
1,2 juta orang. Jika tumbuh 2,5 persen, maka lapangan kerja baru sebesar 750 ribu orang. Terburuk jika tumbuh nol persen, maka tidak ada penciptaan lapangan kerja baru. Hal ini akan membahayakan ekonomi, karena penduduk terus bertambah, dan yang lulus universitas maupun sekolah menengah Atas terus bertambah. Jika ini terjadi, dapat dipastikan banyaknya pengangguran di tengah-tengah masyarakat.
Bayangan Resesi
Resesi terjadi jika terjadi pertumbuhan negative selama 2 triwulan berturut turut. Tentunya kita tidak ingin ini terjadi. Pemerintah bersama-sama rakyat harus bahu membahu agar pertumbuhan ekonomi jangan sampai negative. Bisa dibayangkan jika pertumbuhan negative satu persen saja, akan menciptakan pengangguran baru sebesar 300 ribu orang. Mereka adalah orang yang bekerja sebelumnya. Ekonomi akan semakin parah jika resesi berlangsung selama satu tahun. Puncak keparahan ekonomi disebut dengan Depresi. Penyembuhan dari depresi ini (recovery) akan memerlukan waktu panjang. Tentunya kita semua masih ingat krisis moneter 1998 yang memerlukan waktu recovery lebih dari 5 tahun. Pada waktu itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai titik terendah di angka minus 13 persen.
Solusi ekonomi
Menghadapi kondisi ekonomi di masa masa seperti ini tidaklah mudah. Diperlukan pengorbanan dan ketabahan. Diperlukan pengorbanan orang yang memiliki kelebihan harta, dan diperlukan ketabahan orang yang tidak punya harta (miskin). Untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi positif, perlu dijaga daya beli, agar konsumsi masyarakat tetap ada. Konsumsi ini pada akhirnya akan menjaga produksi tetap ada. Terjaminnya keberlangsungan produksi akan mencegah dari disrupsi tenaga kerja (PHK). Inipun jika lockdown tidak terjadi.
Pemerintah pasti berupaya keras untuk mencari solusi keadaan ini. Kita sebagai rakyat diminta tidak tinggal diam. Mari kita bahu membahu menghadapi masalah ini. Upaya meningkatkan konsumsi masyarakat dapat dilakukan dengan Zakat, infaq, sedekah dan wakaf (ZISWAF). Zakat yang wajib kita tunaikan insya Allah akan disalurkan langsung ke masyarakat miskin untuk menjaga daya beli mereka. Infaq dan sedekah yang sifatnya Sunnah harus digencarkan guna membantu mereka yang membutuhkan. Wakaf harus digalakkan untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat, khususnya wakaf kesehatan disaat pandemic seperti ini. Ada 7,5 persen masyarakat termiskin yang membutuhkan ZISWAF kita.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 39 yang artinya: “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Memang tafsir ayat ini mengatakan bahwa orang orang yang berzakat, pahalanya akan berlipat. Sebagaimana terdapat dalam hadits riwayat Bukhari yang artinya: “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sepotong kurma yang dikeluarkan dari usahanya yang halal, kecuali Allah yang Maha pemurah akan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu dipelihara-Nya untuk si pemberi sedekah, sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak kuda atau anak unta, hingga kurma itu menjadi lebih besar daripada bukit Uhud”.
Namun, dalam versi ekonomi, ayat ini bisa ditafsirkan sebagai berikut
(lihat Gambar 1). Pertama,
Riba tidak meningkatkan Aggregat Supply (AS) atau Aggregat
Demand (AD), karena tidak berhubungan dengan sector riil. Sebaliknya, riba akan menurunkan Aggregat
Supply (AS) atau
Aggregat Demand (AD), dan pada akhirnya menurunkan aggregate output. AD adalah jumlah
total permintaan untuk semua barang jadi dan jasa yang diproduksi dalam suatu ekonomi. Dalam jangka panjang, AD = GDP. AS adalah jumlah barang dan jasa akhir perekonomian, yang diminta pada berbagai tingkat harga yang berbeda. Aggregate Output adalah jumlah seluruh barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan di dalam suatu perekonomian pada suatu periode tertentu.
Kedua, zakat yang diprediksi manusia menurunkan output, sebaliknya, zakat akan meningkatkan Aggregat Demand (AD), dan pada akhirnya meningkatkan income (Y). Income yang meningkat akan meningkatkan zakat juga pada akhirnya. Ini akan menjadi siklus yang terus berulang (Zakat
→ AD → Y → Zakat). Zakat yang dikumpulkan oleh Amil (Baznas) dapat juga digunakan untuk meningkatkan investasi. Investasi akan meningkatkan Aggregat Demand (AD), dan pada akhirnya meningkatkan output. Pertambahan output juga akan meningkatkan investasi. Ini merupakan siklus yang terus berulang (Zakat → Investasi → AD → Output → Zakat). Investasi tidak hanya meningkatkan AD, tapi juga AS. Peningkatan AS akan meningkatkan Aggregat Output. Inipun akan menjadi siklus yang terus berulang ((Zakat → Investasi → AS → Output → Zakat). Sebagai catatan, Zakat yang dimaksud dalam gambar 1 termasuk Infaq, sedekah dan wakaf.
Pada akhirnya, zakat, infak dan sedekah dan wakaf (ZISWAF) akan meningkatkan konsumsi (C ) untuk jangka pendek dan investasi (I) untuk jangka panjang. Dua komponen ini merupakan komponen dalam GDP. Sehingga, untuk jangka pendek, ZISWAF akan meningkatkan Konsumsi dan meningkatkan GDP. Mari kita tolong mereka yang tergoncang ekonominya karena pandemic ini dengan ZISWAF kita. Ayo Berzakat, Berinfaq, Bersedekah dan Berwakaf !