Nation have no permanent friends or allies, there is only permanent interest (Lord Palmerston, 1784 -1865)
“ET TU BRUTE.,” rintih Julius Caesar dalam Drama William Shakespeare. Ia tak menyangka sahabat terbaiknya, Brutus, bakal menikamnya dari belakang. Ia mengerang kesakitan, tetapi para senator yang mengurungnya tidak peduli, mereka merangsek menghujani tusukan pisau ke tubuh penguasa yang sudah bersimbah darah itu. Ia pun tewas, sebuah konspirasi telah berjalan mulus. Sang Kaisar Roma itu, sebenarnya sudah waspada bahwa ia bakal dibunuh, namun di hari naas 15 Maret 44 SM itu ia tak menduga tikaman pisau penghianatan pertama itu datang dari Marcus Junius Brutus, seorang jenderal dan cendekiawan Romawi, sahabatnya sendiri.
Bersalahkah Brutus dan para senator Romawi yang terhormat? Inilah area politik dimana pengkhianatan punya pembenarannya sendiri. Di depan mayat sahabat dan pemimpinnya sendiri, Brutus dengan lantang berpidato bahwa Roma telah selamat dari kediktatoran Caesar.
Politik memang punya banyak muka. Ia bisa berpaling kesembarang tempat, ambil untung sekejap dan menelikung siapa saja. Seperti kata politisi Jerman Otto Von Bismarck, politik adalah seni dalam memanfaatkan berbagai kemungkinan. Ia menjadi suatu yang banal dan menjelma menjadi dogma, di mana kawan dan lawan bukanlah rumus mati, tiada yang permanen.
Di tahun 1961, Sukarno menyanggah Bismarck. Politik justru merupakan seni memungkinkan apa yang tidak mungkin di masa lampau’. Machtsvorming, kata penguasa Orde Lama ini, seni membangun kekuatan sosial untuk melancarkan tekanan terhadap musuh. Tentu saja dengan tipologi otoritarian yang kental. Tetapi di ujungnya tetap saja sama bahwa domain politik adalah wilayah abu-abu, dimana kebersamaan hanyalah sebuah kepentingan sesaat.
Di masa sekolah menengah dulu, kita dikenalkan dengan politik sebagai ilmu tentang menata negara, entitas yang luhur, tempat di mana idiologi dan masa depan bangsa dipertaruhkan? Bukankah Afrika Selatan menjadi lebih beradab ketika politisi sekelas Nelson Mandela tampil memimpin negeri apartheid itu? India menemukan jati dirinya lewat ketokohan seorang Gandhi. Dan dunia Barat tercengang oleh kebersihan jiwa Salahuddin Al Ayyubi sebagai representasi politisi muslim di masa Perang Salib.
Kita mengenal figur politisi bersih dan bermartabat seperti Bung Hatta, Agus Salim dan Mohammad Natsir. Mereka bersinar di forum dunia membawa harum nama Indonesia. Dan kita mafhum kebesaran negeri ini di masa lalu, lebih ditentukan oleh berbagai perdebatan panjang di meja perundingan ketimbang pertempuran bambu runcing. Mereka adalah apa yang dikatakaan Vaclac Havel sebagai orang-orang yang punya gagasan atau idiologi besar untuk mengorganisasikan masyarakat. Idiologi itu hanya menjadi kenyataan apabila diperjuangkan lewat domain politik. Idiologi politik, kata sastrawan yang menjadi Presiden Cekoslowakia itu, pada gilirannya melenceng lantaran bertemu dengan kepentingan pribadi dan sikap oportunistik.
Sejak iklim reformasi bergulir, dua dekade lalu, telah terjadi deviasi pemahaman politik rakyat. Tentu saja bukan tanpa sebab. Selain sistem politik yang makin bebas dan terbuka, ditandai dengan merebaknya puluhan partai politik, benturan krisis demi krisis yang terus menggempur daya tahan ekonomi rakyat pada gilirannya menggiring mereka pada sikap pragmatis.
Ini memang bukan tahun 1950-an, ketika partai politik tampil dengan berbagai bendera idiologi, agama, nasionalis, komunis dan sosialis. Di masa itu partisapasi rakyat terasa kental, mereka berduyun-duyun mendatangi lapangan kampanye mendengarkan perdebatan idiologis yang berapi-api tentang perubahan masa depan bangsa. Kini masa heroik itu telah lewat, pragmatisme lebih kentara pada tuntutan terhadap kebutuhan sesaat. Bagi mereka, tidak masalah apapun warna partai dan orangnya, asal bisa menyediakan uang saku kampanye, kaos oblong dan nasi bungkus. Barangkali, lantaran itu pula partai politik tidak perlu menimbang perasaan rakyat ketika memutuskan langkah pragmatis, berkoalisi dengan partai lain. Koalisi adalah resep mujarab agar partai yang kalah tidak kehilangan muka dan berharap ikut serta mengelola pemerintahan baru. Tetapi siapa bisa menjamin “Brutus” tidak ikut ambil bagian?
(Irsyad Muchtar)