“Namaku Abu Tahsin al-Salhi,” kata lelaki berperawakan tinggi besar itu. Pandangannya tajam menatapku. Sepertinya dia tak pernah berkedip. Levison Wood menuliskan sepenggal pengalaman ngerinya saat pertamakali bertemu dengan veteran perang Irak berjuluk mata elang itu. Penjelajah dan penulis asal Inggris ini tengah melakukan perjalanan spektakulernya melintasi 18 negara di kawasan Timur Tengah.
Ia terjebak dalam konflik para militer religius Irak melawan Daesh (Al-Dawla Al-Islamiya Al-Iraq Al-Sham) atau lebih dikenal dengan ISIS. Di tengah konflik itu, Levison bertemu dengan Tahsin, syekh sniper yang amat ditakuti oleh ISIS.
“Aku berumur 63 tahun dan aku telah bertempur sebagai penembak jitu sejak 1973,” kata anggota milisi veteran Irak itu, seperti ditulis Levison dalam bukunya, A Journey Through The Heart of The Middle East. Di rentang waktu hampir setengah abad itu seluruh hidup Tahsin diabdikan hanya untuk bertempur. Ia melawan Israel dan Amerika yang di matanya jelas musuh Islam. Namun ia juga melibatkan diri dalam perang Iran-Irak, di Afghanistan dan Chechnya.
“Sekarang aku melawan Daesh, dan aku sudah membunuh 343 orang jihadis,” akunya. Lalu apa yang ia rasakan di rentang pertempuran dan pembunuhan nan panjang itu. Adakah ia menyesali atas nyawa ratusan orang yang telah ia renggut? “Aku tak merasakan apapun,” katanya datar seraya menambahkan, bahwa itu adalah pekerjaannya. Ia menganggap Allah telah memberkahinya guna membunuh mereka yang jahat. Dan ia percaya Allah saja yang berhak menghakimi atas semua yang sudah ia lakukan.
Sepekan setelah dialog di larut malam di dataran Ninevah itu, Jumat 29 September 2017, dalam perang untuk mengambil alih kota Hawija di Irak Utara, Abu Tahsin tewas diterjang peluru ISIS. Ia pergi sebagai syuhada tetapi perang belum berhenti dan masih akan merenggut para syuhada lainnya seperti Abu Tahsin yang menerjunkan diri untuk siap mati membela agama Allah. Tetapi siapakah pembela agama Allah itu? Bukankah kubu lawan, sebutlah misalnya ISIS, atau Yahudi sekalipun, juga mengatasnamakan agama. Siapa pula yang meragukan kesalehan Salahudiin Al Ayubi dan Richard I The Lion Heart, yang keduanya bertempur atas nama agama. Ketika Perang Salib meletus di awal abad pertengahan, banyak orang di Eropa tersentuh untuk menggabungkan diri dalam laskar The Crusader, karena Paus menjanjikan penebusan dosa dan jaminan surga. Lalu, apakah arena perang salib dibanjiri oleh darah mereka yang syahid di kubu Islam atau para martir di kubu Kristen?.
Timur Tengah memang menjadi tempat yang sungguh absurd di muka bumi, di mana perang seolah tak pernah akan berhenti. Entah untuk apa? Apakah karena kawasan panas ini merupakan sumber energi terbesar dunia yang layak direbut ataukah karena kutukan panjang dari pertikaian suku dan kelompok yang tak kunjung padam. Dan, Levison yang kemudian ikut terseret dalam konflik melawan ISIS menemukan jawaban pada sosok Abu Tahsin.
Di usianya yang relatif muda, 20 tahun, Tahsin sudah mengangkat senjata melawan Israel dalam perang Yom Kippur 1973. Setelah itu rentetan perang lainnya mewarnai kehidupannya. Saat usianya yang tak lagi muda, 42 tahun, Tahsin seharusnya sudah harus pensiun. Namun ia justru kembali mengangkat senjata melawan ISIS, sekte radikal sempalan Al Qaida yang diyakininya merusak aqidah Islam.
Tetapi bukankah radikalisme ISIS juga besandar pada pembelaan terhadap agama? Meminjam istilah Amin Maalouf dalam bukunya In The Name of Identity, semua berakar pada eksistensi, keberadaan diri yang disebut identitas. Seperti Tahsin yang terlahir sebagai muslim di tengah gurun yang panas, maka sejak awal ia meyakini tujuan akhir hidupnya syuhada; sebagai pranala identitas.
Kita mungkin dapat mengubahnya sesaat, tetapi tidak akan mampu menghapus substansi. Identitas tidak bisa disekat-sekat. Seperti kata Maalouf, novelist kelahiran Libanon yang mukim di Perancis ini. Ia mencoba memahami mengapa begitu banyak orang melakukan kejahatan atas nama agama, etnis, nasional atau bermacam identitas lainnya. (Irsyad Muchtar)