“Nama saya Sufia Begum,’’kata perempuan muda berusia 21 tahun itu. Ia pekerja keras yang menginspirasi Muhammad Yunus untuk merancang ulang tentang sebuah pembiayaan usaha bagi kaum miskin. Hanya itu yang menarik. Selebihnya, adalah kisah seorang perempuan pekerja miskin dari desa Jobra, Bangladesh. Ia tinggal di sebuah gubug bobrok berdinding lempung hampir roboh dan atap rumbia yang rendah.
Sufia, ibu muda beranak tiga itu adalah perajin kursi bambu dengan upah 50 paisa atau setara 2 sen dollar AS per hari. Ia pun menjadi akrab dengan kelaparan. Dan Bangladesh di penghujung 1970-an adalah negeri yang nyaris karam karena kehidupan rakyatnya yang kelewat miskin.
Perempuan pekerja miskin di Jobra hanya butuh dana 5 taka (US$22 sen), mereka yang senasib dengan Sufia ketika dikumpulkan oleh Yunus berjumlah 24 orang. Artinya untuk bisa bekerja mandiri mereka hanya butuh dana US$ 27.
Ya Tuhan… keluh panjang Yunus seraya mengeluarkan uang yang di belahan Barat sekadar cukup menyantap satu paket Humberger Mc Donald.
Maka Grameen Bank pun lahir. Sebuah bank desa di Jobra khusus hanya untuk orang-orang miskin.
Kemiskinan bukan monopoli satu bangsa. Revolusi Rusia, kata Maxim Gorky meletus akibat orang-orang miskin yang jumlahnya semakin banyak. Dalam bukunya, Ibunda, Gorky mengambil setting sejarah pada masa awal abad 20 ketika Rusia memasuki masa revolusi demokratik. Ia menyeret kita kepada sekumpulan kaum buruh yang hidup di tengah peluit pabrik yang menjeri-jerit di atas perkampungan yang kumuh.
Kaum kapitalis dapat hidup mewah, seru Pavel, tokoh utama dalam roman Gorky itu, karena si miskin tidak berani memberontak dengan keadaan.
Maka ia pun membakar massa. “Ketakutan lah yang sebenarnya menahan langkah kita. Dan mereka akan terus menakut-nakuti kita,” seru Pavel yang suaranya kemudian hilang di balik tembok penjara.
Di tahun 1948, George Orwel menulis tentang Bung Besar. Seolah mempertegas kegalauan Pavel. Kaum kapitalis adalah pemilik segala sesuatu di dunia. Dalam undang-undang yang mereka buat sendiri, jus primae noctis, memberi hak pada setiap kapitalis untuk tidur dengan perempuan manapun yang bekerja di pabriknya.
Seperti potret buram wilayah yang mungkin paling miskin di Asia, Jobra di tahun 1970-an, kita dihadapkan kepada wajah-wajah pasrah yang tidak punya harap dan impian, Mereka tidak mampu keluar dari labirin kemiskinan itu karena pintu-pintu memang sudah ditutup sehingga tidak mampu lagi bermimpi.
Seperti mimpi Martin Luther King Jr, bahwa kelak setiap dusun akan mulia, setiap bukit dan pegunungan akan dibuat rendah, tempat yang kasar akan dibuat datar, dan tempat yang berliku-liku akan dibuat lurus. Tetapi, mimpi pemenang nobel perdamaian 1964 itu terpaksa buyar. Berondong peluru di halaman motel sederhana di Memphis, AS menghentikan langkahnya pada 1968. Ia tewas, lantaran masih banyak orang di muka bumi ini yang tidak sudi bersanding dengan kesetaraan.
Di tahun 1947, sejumlah orang yang mencintai kebersamaan berhimpun di Tasikmalaya. Lalu sepakat mendirikan sebuah organisasi egaliter bernama Koperasi.
Ada sejumlah mimpi yang hendak diujudkan, seperti membangun jalur distribusi barang-barang kebutuhan pokok dan mendirikan lembaga keuangan sendiri berbadan hukum koperasi.
Sayangnya mimpi-mimpi itu tak kunjung nyata. Koperasi tak kunjung besar kecuali hanya sekadar program populis penguasa. Sementara jalur distribusi bahan pokok dan perbankan bahkan sudah dikuasai bangsa lain. Bahkan untuk membeli sebotol air kemasan dalam plastik kita juga harus menyumbang ke negara lain. Yunus mungkin benar
ketika ia bergumam bahwa kemiskinan di Jobra lantaran hilangnya nurani lembaga-lembaga finansial di negeri itu. (Irsyad Muchtar)