hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Waspadai Sinyal Krisis

Kemampuan korporasi membayar utang, kerentanan sistem keuangan, dan tingginya porsi utang valuta asing menjadi tiga faktor yang perlu dicermati dalam laporan McKinsey.

Selepas hajatan pemilu yang relatif berlangsung aman, semua pihak berharap ekonomi Indonesia akan berputar lebih kencang. Di tengah ekspektasi yang tinggi itu, laporan yang hanya 9 halaman dari firma konsultan global terkemuka McKinsey & Company cukup mengagetkan. Laporan berjudul “Signs of Stress: Is Asia Heading Toward a debt crisis?” menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang rentan terkena krisis. Ini mengingatkan publik pada peristiwa krisis 20an tahun silam.

Laporan yang ditulis Senior Exper Mckinsey, Joydeep Sengupta dan Senior Expert McKinsey’s Singapore, Seshadrinathan, diterbitkan pada Juli lalu menyebutkan ada tiga faktor tekanan berpotensi krisis yang perlu diwaspadai.

Pertama, performa perusahaan sektor riil yang kesulitan melunasi utang. Ini terlihat dari interest coverage ratio atau ICR yang merupakan ukuran kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pembayaran  bunga utang dari pendapatannya. Jika ICR kurang dari (<) 1,5%, maka perusahan tersebut terbebani utang dan akan sulit melunasinya. Dalam hal ini, McKinsey melakukan asesmen terhadap neraca keuangan 12.000 perusahaan di 11 negara Asia Pasifik pada kurun waktu 2007-2017.

Laporan itu menyebutkan, sebanyak 32% korporasi Indonesia memiliki ICR < 1,5%. Alhasil, dikategorikan dalam tekanan tinggi (high extent of stress) karena porsinya diatas 25%. Korporasi yang bergerak di sektor utilitas seperti pembangkit listrik dan jalan tol berperan besar terhadap kondisi tersebut dengan kontribusi hingga 62%.  Selain itu, tingkat utang berdenominasi dolar Amerika Serikat mencapai 50% dari porsi utang yang ada, atau jauh di atas rata-rata kawasan sebesar 25%.

Nasib serupa juga dialami perusahaan di Cina dan India yang masing-masing porsinya sebesar 37% dan 43%.  Sementara perusahaan dari negara jiran seperti Malaysia, Singapura dan Thailand, dinilai memiliki kemampuan yang lebih mumpuni dalam melunasi bunga utangnya.

Faktor kedua, sistem keuangan di Asia dinilai kembali menunjukkan kerentanan. Ini merujuk pada penurunan marjin, tingkat risiko yang tinggi hingga ketergantungan pembiayaan pada lembaga nonbank atau shadow banking. Rata-rata marjin atas modal perbankan di Asia menunjukkan penurunan dari 12,4% di 2014 menjadi 10% di 2018. Selain itu, tingkat risiko juga naik yang ditunjukkan dari meningkatnya biaya pencadangan di perbankan.

Ketiga, laporan McKinsey tersebut menyoroti tingginya porsi modal asing yang masuk ke Asia. Nilainya bahkan melewati masa-masa sebelum krisis 2007. Kondisi ini berbanding terbalik dengan aliran dana global yang justru menunjukkan tren penurunan. Namun demikian perlu diingat, bahwa modal asing langsung ((foreign direct investment atau FDI) tersebut lebih dari 40% merupakan utang valas. Ini rentan terhadap gejolak nilai tukar. Terlebih saat situasi sekarang dengan ketidakpastian global akibat perang dagang AS dengan Cina.

Menanggapi laporan McKinsey tersebut, Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan memantaunya. “Kalau ada laporan, kami akan lihat apakah berbeda dari sisi bacaan dengan kami atau tidak. McKinsey buat untuk keseluruhan Asia dan negara-negara berkembang, jadi kami bisa bandingkan itu,” ungkap Menkeu  Sri Mulyani di Jakarta.

Selain itu, pemerintah juga melakukan pemantauan secara internal sesuai dengan prosedur pengelolaan surat utang dalam keuangan negara. Pemantauan tersebut dilakukan bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam hal pengelolaan kebijakan fiskal.

Pada kesempatan lain, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan, Pemerintah tidak peka terhadap ancaman krisis. Ini terlihat dari asumsi makro ekonomi global dalam Nota Keuangan RAPBN 2020. Dia menjelaskan bahwa RAPBN 2020 belum menggambarkan mitigasi krisis. Misalnya, postur RAPBN 2020 belum menggambarkan dampak pada resesi Amerika Serikat. Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% sebenarnya tak berbeda dari target pertumbuhan tahun ini. Padahal tahun ini saja target pertumbuhan baru pada kisaran 5,05% – 5,06%.

Laporan McKinsey menjadi peringatan dini tentang pentingnya pengelolaan utang baik milik Pemerintah atau swasta. Alih-alih menolaknya, sikap mawas diri dan introspeksi menjadi pilihan bijak agar bangsa ini terhindar dari krisis yang mengerikan seperti 1997 silam. (Kur).

pasang iklan di sini