hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Walton

SAM WALTON mengenalkan cara belanja murah melalui perang diskon. Dan seluruh pusat perdagangan eceran di Amerika Serikat terguncang. Pasar-pasar tradisional terancam bangkrut, Walton pun menuai kritik. Tetapi ide kontroversial yang dibenci di AS pada kurun 1960-an itu belakangan menjadi tren di penjuru dunia. Tren penjualan  malah bergeser dari diskon menjadi bonus, buy one get one.

Walton, pria kelahiran Oklahoma, memulai dengan sebuah toko kecil bermerk Walton’s 5-10 di Bentonville, Arkansas, AS.

Bak multitasking, ia bekerja sendirian, sebagai pemilik sekaligus pelayan toko lantaran memang belum mampu merekrut karyawan. Pilihan lokasi tokonyapun sengaja di kota kecil karena ia tak berani  bersaing dengan toko ritel lain yang kala itu terbilang kelas atas, seperti Sears dan Kmart.

Kiat pasar dengan jual diskon karuan saja jadi model dan banyak ditiru toko ritel lainnya. Walton memulai awal yang baik dan boleh dibilang sukses. Pada 31 Oktober 1962 ia mengubah brand tokonya menjadi Walmart, Kini dikenal sebagai perusahaan ritel multinasional AS, mengoperasikan rantai pasar swalayan, departemen strore dan toko kelontong tersebar di 27 negara. Jumlah karyawannya fantastis, 2,2 juta orang.

Kendati telah menangguk kekayaan miliaran dolar AS,  membuka ribuan cabang Wal- Mart dan merekrut lebih dari 400.000 karyawan, Walton tidak berubah. Ia tetap saja sosok pria sederhana yang sangat hemat kalau tak boleh dibilang pelit. Latar belakang pengetahuannya tentang bisnis sangat lumayan, sarjana jebolan Universitas Missouri, Columbia, Amerika Serikat. Namun ia lebih suka bekerja dengan contoh ketimbang tumpukan teori-teori ekonomi. 

Jack Trout penulis buku  Repositioning, memuji Walton sebagai pekerja super keras yang seringkali menghabiskan waktunya di tengah malam di dok bongkar muat dan berbicara kepada setiap pegawainya. Kebanyakan eksekutif puncak cenderung membangun jarak  dengan karyawan kelas terendah. Walton justru menyatu dengan bawahannya. Ia lebih suka naik truk pick-up mengantarkan barang ke toko toko. Yang dilakukan Walton adalah mempelajari lini depan pemasaran dan memahami selera konsumen. Sebaliknya, kata Trout lagi dalam The power of Simplicity, kebanyakan eksekutif puncak cenderung menjaga jarak. Semakin besar perusahaan, makin besar kemungkinan para eksekutif  puncaknya kehilangan sentuhan pada lini depan.

Ketika meninggal pada 1992, Walton mewariskan kekayaan sekitar US$ 23 miliar dan keempat anaknya mampu mewarisi pikiran-pikiran tentang bagaimana cara uang bekerja. Wal-mart pun menerobos pasar online.com yang mulai marak di tahun 1990-an, memanfaatkan perangkat drone untuk pengiriman barang dan mengakuisisi puluhan start-up guna mendorong pertumbuhan e-commerce dan digitalisasi.  

Di tengah pandemi covid-19 yang melibas dunia usaha di mancanegara, termasuk AS, Wal-mart justru laris manis. Pada 2020 Forbes merilis daftar kekayaan keluarga Walton sebesar USD247 miliar setara Rp3.560 triliun, yang menempatkannya sebagai keluarga terkaya di AS.

Kisah Walton mungkin sudah usang. Tetapi konsep diskon hingga kini terus hidup dan menjadi kiat bagi setiap pusat pertokoan dalam memperkuat keunggulan daya saing. Melakukan terobosan dengan sentuhan intuitif seperti Walton memang tak mudah. Di tengah masyarakat industri yang mendewakan keunggulan otak, cara seperti itu bisa dibilang ceroboh. Sosok Walton agaknya mewakili kriteria  yang digambarkan oleh  Peter Drucker, bahwa kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya.  (Irsyad Muchtar)

pasang iklan di sini