hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Top-down

Dalam pakem idealnya pembangunan koperasi sejatinya dimulai dari bawah (bottom-up), atas kehendak bebas  anggota. Lantaran itu koperasi  identik dengan lembaga ekonomi yang tumbuh dari aspirasi di lapis bawah. Kehendak bebas itu lahir karena ada tujuan dan kebutuhan yang sama, yaitu menolong diri sendiri secara bersama-sama (mutual self help). Bagaimana dalam praktiknya kini ? Tak sepenuhnya orang taat dengan azas kebersamaan itu. Di sejumlah negara berkembang, terutama di negeri penganut paham sosialis, koperasi justru tumbuh dari atas (top-down) alias dikontrol oleh mekanisme birokrasi pemerintah.

Pendekatan antara bottom-up dan top-down  sering kali menimbulkan polemik dengan  dikotomi benar dan salah. Bahwa hanya dengan pendekatan bottom-up  koperasi boleh dibilang sebagai organisasi sejati. Di sisi lain, pendekatan top-down tentu saja dinilai ngawur, cuma melulu untuk kepentingan politik penguasa.

Di Indonesia, koperasi pola top-down boleh dibilang merupakan warisan sejarah, apalagi jika diyakini bahwa cikal bakal kelahiran koperasi bermula dari inisiatif Aria Wiriaatmaja saat mendirikan  Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren di tahun 1986; Bank Bantuan dan Simpan Pinjam milik kaum priayi, dimaksudkan menolong para pegawai dari jeratan rentenir. Alih-alih koperasi, priayi asal Purwokerto itu belakangan lebih dikenal sebagai bapak Bank Rakyat Indonesia. Dalam kajian akademis kolonial Belanda, dimotori oleh JH Boeke, ia menohok bahwa hanya koperasi yang cocok bagi lalu lintas ekonomi tradisional kaum pribumi. Maka, koperasi kemudian diadopsi sebagai wadah usaha rakyat di lapis bawah (grassroots). 

Adakah yang keliru ketika Indonesia merdeka melanjutkan pembinaan koperasi pola top-down? Di masa Sukarno, terjadi mobilisasi politik koperasi secara besar-besaran. Intervensi terhadap koperasi tidak hanya secara legal yaitu mengubah berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi juga melalui institusi.

Dalam Revrisond Baswir menulis, Sukarno menempatkan orang-orangnya dalam Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI). Puncaknya, dalam Musyawarah Nasional Koperasi pada Agustus 1965, gerakan koperasi dicanangkan sebagai bagian dari gerakan rakyat revolusioner berporoskan Nasakom. Pemimpin Tertinggi gerakan Koperasi ketika itu langsung dipegang oleh Sukarno selaku Bapak Koperasi Indonesia.

Episode berikutnya, selama tiga dasa warsa kekuasaan Orde Baru, koperasi top-down tumbuh pesat dengan merk KUD. Koperasi berbasis pertanian ini digadang-gadang ikut menyukseskan swasembada pangan tahun 1984 dan merupakan mitra usaha pemerintah paling loyal di bidang disrtribusi pupuk, beras dan komoditas pertanian.

 Masa keemasan koperasi top- down meredup seiring tumbangnya rezim Orde Baru. Bagai gelembung sabun, satu persatu KUD hilang ditelan udara reformasi. Bersamaan dengan itu, koperasi bottom-up  mulai menunjukkan tajinya, lahirnya ribuan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) menandakan berakhirnya era KUD. Memang tak sepenuhnya bottom-up seperti yang umumnya berlangsung di ladang koperasi kredit (Credit Union). Lantaran regulasi dan pengawasan lemah, banyak pula KSP yang kemudian eksis sebagai ’koperasi juragan’. 

Tetapi keinginan setiap rezim untuk menjadikan koperasi sebagai bagian dari motor penggerak kekuasaannya, agaknya tak pernah sirna. Dengan alasan pembinaan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, kuku penguasa tetap saja hinggap di tubuh gerakan koperasi. 

Adakah yang harus kita hujat dengan pola top-down ataukah memang pola bottom-up yang lebih cocok bagi masyarakat koperasi Indonesia? Saya teringat saat menghadiri penganugerahan tokoh koperasi dan pendiri Ikopin kepada Bustanil Arifin pada 16 Oktober 2008 di Kampus Ikopin, Jatinangor. Menteri koperasi periode 1987-1982 itu tercatat sukses menumbuh-kembangkan  koperasi di masa Orde Baru. Ia amat bangga dengan perbedaan sudut pandang antara dirinya dengan Bung Hatta, yang berkoperasi pola bottom-up.  Bagi Bustanil, dalam konteks Indonesia, pola top-down tetap lebih pas, karena mayoritas rakyat masih hidup dalam kemiskinan.

Masalahhnya bukan pada dikotomi top-down dan bottom-up itu, yang kita butuhkan adalah mutu manusianya. Sebab, kata Schumacher, pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang, pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya.  (Irsyad Muchtar)

pasang iklan di sini