hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

TONGGAK

DE POERWOKERTOSCHE Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden. Judul cukup panjang dalam bahasa Belanda itu nama lain dari Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto, Digagas oleh Aria Wiryaatmadja di tahun 1896, kini masih menyisakan sebuah bangunan tua dan menjadi sejarah lahirnya Bank Rakyat Indonesia. Hulp en Spaarbank juga acapkali diklaim sebagai tonggak awal kelahiran koperasi Indonesia. Tetapi hanya sampai disitu karena memasuki awal abad 20 layar sejarah perkoperasian Indonesia membuka cerita lain. Ketika satu dasa warsa berikutnya lahir Koperasi Ahmadi & Co di Kepulauan Natuna ataupun Koperasi Pedagang Batik Syarikat Dagang Islam menjelaskan kepada kita, bahwa pertumbuhan koperasi di awal abad 20 merupakan perlawanan terhadap dominasi kapitalisme asing. Di tahun 1906, Ahmadi &Co yang dipelopori oleh Raja haji Ahmad bin Raja Haji Umar telah merambah perdagangan hasil bumi hingga Singapura. Ia mampu mengangkat derajat ekonomi kaum melayu. Lantaran kiblat ekonomi dan kekuasaan menumpuk di Jawa, kehadiran Ahmadi & Co yang oleh Bung Hatta disebut sebagai koperasi pertama di tanah air justru luput dari perhatian sejarah. Berbeda dengan gerakan koperasi SDI yang digagas Samanhudi. Tidak hanya mematahkan proteksi perdagangan kolonial yang tidak adil, SDI bergulir menjadi organisasi pertama yang menggagas Indonesia merdeka, jauh mendahului organisasi priyayi Jawa, Boedi Oetomo.

Pasca kemerdekaan kiblat koperasi sebagai alat produksi mengalami deviasi dengan munculnya embel-embel “ alat kebijaksanaan pemerintah”.  Lantaran itu posisi koperasi di masa Bung Karno bergulir menjadi matchsvorming, penggalangan massa di lapis grassroot. Pada tahun 1950-an, misalnya, gerakan koperasi menjadi basis massa Partai Nasional Indonesia (PNI). Kemudian pada 1960-1965 gerakan koperasi sangat akrab dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Penggalangan koperasi sebagai basis massa dimanfaatkan PKI dengan mendongkrak jumlah koperasi secara massif. Jika pada 1959 jumlah koperasi tercatat sekitar 16.900 unit, pada 1965 naik hingga 70.000 unit dengan anggota para buruh dan petani yang akrab dengan ornamen palu dan arit. Ironisnya, ketika PKI dibubarkan pada 1966, jumlah koperasi pun surut drastis, hanya tersisa 14.700 unit. Celakanya, penguasa berikut mengulangi masalah yang sama dan tetap menjadikan koperasi hanya sekadar “alat”. Di tengah cengkraman rezim Orde Baru,  koperasi diekspolitasi sebagai garda depan penjaringan suara massa. Waktu itu Golkar berkuasa, dan warna kuning menjadi identik dengan pakaian petani di pedesaan. Harus diakui peran koperasi plus pegawai negeri  yang diwajibkan berpartai sangat dominan dalam melanggengkan kekuasaan Golkar dan tentunya Soeharto selama tiga dasa warsa.

Tidak cukup dengan tekanan politik yang begitu kuat, kiblat perkoperasian mengalami pergeseran yang membingungkan. Sejak lahirnya UU No 12 Tahun 1967 penggolongan koperasi pun bertambah, Jika dalam literatur hanya dikenal koperasi konsumen, produsen, dan jasa, belakangan muncul koperasi fungsional. Keanggotaannya mengacu pada batasan kelompok atau lembaga tertentu, misalnya pemuda, wanita, masjid, pesantren, karyawan atau militer. Koperasi mengalami anomali yang hingga kini bergulir menjadi kewajaran.  Pemerintah tidak ambil pusing, dan gerakan koperasi juga juga tidak peduli.

Menempatkan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat kiranya baru sebatas visi dan misi, belum menjadi prioritas. Kendati penguasa berbusa-busa berbicara tentang manfaat ekonomi koperasi namun mereka lebih memberi peran ekonomi itu kepada asing terutama etnis Cina. Perilaku yang tak ubahnya dengan penguasa kolonial Belanda. Seperti ditulis Robert W Hefner dalam bukunya, Budaya Pasar, para penguasa Orde Baru memberikan perlakuan istimewa kepada modal Cina karena sebagai pengusaha minoritas, mereka mustahil mengajukan protes terhadap perampasan keuntungan oleh para pejabat pemerintah. Hingga kini perlakuan itu masih terus menggejala di meja-meja birokrasi pemerintah.  (Irsyad Muchtar)

pasang iklan di sini