checkup-dokter keuangan
checkup-dokter keuangan
octa vaganza

Strategi Penyediaan Benih Padi Komersial Versus Non Komersial

Oleh: Prof Dr Memen Surahman

Bisnis benih hanya memiliki prospek di daerah yang pertaniannya sudah relatif maju yaitu daerah yang usahatani petaninya sudah berorientasi komersial.  Petani maju menghasilkan produk untuk dijual.  Di daerah seperti itu petani tidak punya waktu lagi untuk memikirkan benih sendiri tetapi ingin fokus usahanya menghasilkan produk konsumsi.  Dalam hal padi produknya berupa gabah atau beras.  Urusan benih biar ditangani oleh industri benih.  Jadi ada spesialisasi usaha antara produksi untuk tujuan konsumsi dan produksi untuk tujuan benih. Petani di daerah yang pertaniannya sudah maju pasti mau membeli benih.

 

Sementara di sisi lain, yaitu di daerah yang usahatani petaninya masih bersifat subsisten yaitu petani gurem yang hasil produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, mereka merasa tidak efisien jika benih yang diperlukan untuk menanam harus membeli karena kebutuhan benihnya tidak banyak.  Petani menganggap benih yang dijual di kios sarana produksi pertanian harganya mahal. Petani lebih memilih membenihkan sendiri (save own seed) untuk keperluan usahataninya.  Di daerah seperti ini bisnis benih tidak memiliki prospek.

 

Berdasarkan kedua kondisi petani dan pertanian yang berbeda tersebut, maka strategi penyediaan benihnya tidak bisa disamakan hanya satu untuk seluruh daerah di Indonesia.  Saat ini pemerintah hanya menerapkan satu strategi penyediaan benih.  Benih yang disediakan untuk petani di suluruh wilayah Indonesia hanya satu yaitu Benih Bersertifikat.  Sehingga penggunaan benih bersertifikat sampai saat ini masih tetap rendah yaitu sekitar 53%.  Sisanya sekitar 47%  save own seed.  Upaya apapun yang sudah dilakukan pemerintah sampai saat ini tidak bisa mendongkrak penggunaan benih bersertifikat tersebut.  Kemajuannya ada tetapi sangat lambat.   Ke depan strategi penyediaan benih untuk  kedua kondisi petani dan pertanian yang berbeda tersebut harus berbeda.  Di daerah dimana petaninya sudah maju, penyediaan benihnya harus melalui “benih komersial”, yaitu benih yang diproduksi di bawah pengawasan lembaga yang diberi tugas mengawasi produksi dan peredaran benih, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB).  Sedangkan di daerah yang orientasi petaninya masih subsisten strategi penyediaan benihnya harus melalui “benih non komersial”, yaitu benih yang diproduksi sendiri oleh petani, tanpa proses sertifikasi benih oleh BPSB.

BENIH KOMERSIAL

Strategi penyediaan “benih komersial” dapat dilakukan oleh produsen benih BUMN dan swasta.  Perusahaan BUMN yang memproduksi benih padi saat ini adalah PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani.  Dibandingkan benih tanaman sayuran benih tanaman padi tidak diminati oleh industri benih swasta, karena benih tanaman pangan dianggap kurang menguntungkan.  Perusahaan yang akan bergerak pada bisnis benih tanaman pangan memerlukan investasi besar, perlu pabrik pengolahan benih dan perlu gudang yang besar.  Selain itu distribusinya  juga tidak mudah karena benihnya bersifat voluminous (bulky).  Volume besar tapi nilai uangnya kecil dibandingkan usaha benih hortikultura.  Oleh Karena itu sekarang ini pemerintah menugaskan perusahaan BUMN PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani untuk memproduksi benih tanaman pangan tersebut, terutama padi.

 

Pemenuhan “benih komersial” oleh kedua perusahaan BUMN tersebut sampai saat ini masih menghadapi kesulitan.  Varietas yang diperlukan oleh petani beragam.  Waktu tanam petani antar daerah juga beragam.  Petani lokasinya tersebar dari Sabang sampai Merauke.  Sehingga benih yang disediakan tidak dapat memenuhi harapan petani.  Akibatnya petani tidak berminat membeli benih yang disediakan.  Bagi perusahaan benih juga kondisi demikian menyulitkan dan berbiaya mahal.  Untuk mengatasi permasalahan tersebut  “Kabupaten Mandiri Benih” adalah solusinya.  Benih diproduksi di setiap kabupaten dengan memberdayakan produsen benih yang ada di daerah/kabupaten.

 

Benih Non Komersial

Sedangkan di daerah yang orientasi petaninya masih subsisten harus diarahkan supaya petani memproduksi benih sendiri sejumlah benih sesuai yang diperlukan.  Tentu saja perlu dilakukan pembinaan supaya caranya benar sehingga menghasilkan benih bermutu. Petani, sebelum melakukan panen raya, memilih petak sawah yang pertumbuhan tanaman padi dan bulirnya paling baik untuk dijadikan benih. Petani melakukan panen pada tanaman padi yang malainya panjang, bulirnya banyak, bernas, warna cerah, dan sehat dari petakan terbaiknya untuk dijadikan benih. Dalam bahasa sunda disebut “ngalean”, dalam bahasa Jawa disebut “pewinihan”. Hari berikutnya baru dilakukan panen secara keseluruhan.  Benih yang dihasilkan dengan cara demikian akan memiliki mutu yang tinggi baik mutu fisik, fisiologik, genetik maupun pathologik.

 

Cara lain yang dapat dilakukan adalah petani memilih petak sawah yang pertumbuhan tanaman padinya paling baik.  Petak sawah tersebut selanjutnya dipelihara secara khusus baik pemupukannya, irigasinya dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) serta pengendalian gulmanya.  Selain itu juga petani melakukan pencabutan tanaman campuran varietas lain (roguing) apabila ditemukan keberadaannya di petak sawah tersebut.

 

Cara-cara tersebut merupakan strategi penyediaan “benih non komersial” yang melakukan penyediaan benih secara swadaya petani.  Sebagian ahli mengatakannya sebagai save own seed karena petani menggunakan benih hasil panen dari  pertanaman yang disimpannya sendiri untuk kebutuhan sendiri.  Cara yang disebut  “Petani Mandiri Benih” ini  tidak melanggar undang-undang.  Selama ini 47% penyediaan benih melalui “benih non komersial”.  Kontribusinya sangat besar bagi produksi padi nasional.  Dapat dikatakan produksi padi nasional 50% dihasilkan dari “benih non komersial” tersebut.  Kita patut mengapresiasinya.  Oleh karena itu kita perlu membinanya sehingga benih yang dihasilkannya bermutu tinggi walaupun tidak bersertifikat.

 

 

 

PERLU DUKUNGAN KEBIJAKAN

Strategi penyediaan “benih komersial” dimana benih yang dihasikan merupakan benih bersertifikat, perlu dukungan kebijakan pemerintah agar menarik bagi produsen benih.    Bagi produsen benih bisnis benih harus memberikan insentif bagi pelaku bisnisnya.  Sampai saat ini bisnis benih padi tidak menarik bagi produsen benih.  Harga benih harus memperhitungkan komponen biaya produksi on farm dan off farm hingga distribusi benih dan energi selama penyimpanan benih serta pengujian ulang mutu benih, margin keuntungan, dan investasi sarana dan prasarana, tak terkecuali resiko benih return dari kios karena masa kadaluarsa sudah terlampaui.

 

Di sisi lain bagi petani “benih komersial” harus memberikan insentif produktivitas yang tinggi yang berbeda dengan benih yang dihasilkannya sendiri.  Jika tidak, maka petani tidak berminat membeli “benih komersial”.  Buktinya, benih jagung dan benih sayuran hibrida sangat diminati oleh petani karena menjanjikan produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan benih non hibrida dan “benih non komersial”.  Petani tidak perlu didorong-dorong untuk menggunakan “benih komersial” jika benih tersebut dirasakan dapat meningkatkan hasil dan keuntungan yang siginifikan bagi petani. (*)

 

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Pertanian IPB PS. Ilmu dan Teknologi Benih Sekolah Pascasarjana IPB