hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Sisi Kelam Teknologi Finansial

Marketplace memilki data transaksi seller, produk mana saja yang laris.Dari situ mereka mengembangkan produk sendiri. Sudah cukup sering kejadian, produk laris UKM tiba-tiba muncul kloningannya dengan harga lebih murah.

KEMAJUAN teknologi memang dapat membantu kita semua dari segala aspek, termasuk ekonomi. Pinjam uang mudah prosesnya, cepat pula cairnya. Siapa yang nggak mau? Mau pinjam uang sama saudara malu, atau mereka sedang tidak punya dana lebih; pinjam di bank ribet dan syaratnya banyak. Maka, pinjaman online jadi alternatif yang ‘menjawab’ aspirasi banyak orang.

Istilah kerennya Fintech P2P Lending. Financial technology peer to peer lending. Yakni layanan jasa keuangan yang memberikan pinjaman uang melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. P2P Lending mempertemukan secara langsung pemilik dana (investor/lender) dengan peminjam dana (kreditur/borrower). Cara ini menghapus fungsi intermediasi, yang selama ini dilakukan oleh bank.

Trend platform P2P—ini singkatan terpopuler—sudah booming di negara-negara lain. Di Inggris, misalnya, industri ini sudah dimulai 10 tahun lalu. P2P memberikan janji return cukup tinggi 18-20% setahun. Keuntungan ini tentu saja atraktif, setara dengan return investasi di pasar saham dan Reksadana. Namun, investasi ini memiliki sejumlah risiko yang perlu dipahami dengan baik, terutama oleh kreditur.

Sebagai inovasi pinjam meminjam, fintech tumbuh luar biasa. Dari hanya beberapa gelintir, saat ini sudah 30-an perusahaan fintech OJK yang memberikan kredit online—meski belum diatur regulasi. Tanpa perlindungan konsumen dari regulator, jika terjadi dispute investor dengan pengelola P2P Lending, regulator tak bisa campur tangan. Juga tidak ada standard governance dan compliance tentang bagaimana menjalankan usaha P2P Lending. Persyaratan modal minimum untuk membuat usaha ini tak ditentukan. Artinya, dengan modal ‘dengkul’ pun bisa.

Hadirnya fintech menggoyang dunia kredit di Indonesia. Sesuatu yang baru dan inovatif selalu punya sisi positif dan negatif. Belakangan muncul banyak keluhan di media soal kasus pinjaman online, antara lain cara penagihan yang dianggap tidak sesuai ketentuan dan melanggar privacy. Sejumlah risiko menghadang jika anda gagal bayar pinjaman online.

Bunga tinggi. Ini fakta yang harus diketahui sejak awal. Tak cuma tinggi, bahkan boleh dibilang tinggi sekali. Sampai saat ini, OJK tidak mengatur soal batasan bunga pinjaman online. Yang jadi masalah adalah, karena tak cermat, kreditor baru komplain setelah mengambil pinjaman dan tidak sanggup mengembalikan.

Plafon pinjaman kecil. Salah satu realitas pinjaman online adalah plafon agunan yang tidak besar. Rata-rata di bawah Rp5 juta per pinjaman.

Ekspose data pribadi di aplikasi pinjaman online. Calon peminjam diminta mengisi data pribadi (lewat aplikasi), termasuk KTP, NPWP, dan telepon di daftar kontak. Data-data itu bisa digunakan bila peminjam wanprestasi. Pengelola P2P lending tidak memberikan akses, bahkan tidak mengungkapkan nama calon kreditur, kepada investor. Usia bisnis ini di Indonesia masih sangat muda, kurang dari 3 tahun, untuk mengukur kredibilitas dan keakuratan analisa pengelola.

Proses persetujuan lama. Harapan konsumen yang tinggi adalah persetujuan (dana) cepat cair. Namun, realita di lapangan tidak demikian. Ini bisa dilihat dari komentar-komentar di PlayStore yang mengeluhkan lamanya pencairan dan tidak adanya respon (disetujui atau tidak) pinjaman. Jadi, meski menggunakan teknologi, prosesnya toh butuh waktu beberapa hari  juga.

Jika tidak bayar pinjaman… Pertama, perusahaan pinjaman online akan melakukan tindakan penagihan. Mulai dari yang sifatnya reminder sampai dengan intensif agar nasabah membayar kewajibannya. Kedua, melaporkan nasabah ke biro kredit yang diwajibkan oleh OJK kepada setiap perusahaan fintech.

Biaya administrasi penagihan. Ketika menunggak, risikonya tidak hanya menghadapi penagihan, tetapi juga tambahan biaya. Perusahaan pinjaman online meminta biaya atas keterlambatan pembayaran (late fee). Ketentuan soal biaya keterlambatan ini tidak secara jelas dicantumkan dalam website beberapa perusahaan pinjaman online.

Seorang warganet tamatan sekolah bisnis di Inggris secara gamblang membongkar rencana Cina menghancurkan UKM Indonesia melalui unicorn lokal berbentuk marketplace atau situs jual beli. Marketplace memilki data transaksi seller, produk mana saja yang laris. Dari situ mereka mengembangkan produk sendiri. Sudah cukup sering kejadian, produk laris UKM tiba-tiba muncul kloningannya dengan harga lebih murah karena dari luar alias impor.

Yang lebih gila, barang-barang impor dari Cina tersebut dikirim ke Indonesia. Hasilnya, 94% barang yang dijual di marketplace sekarang adalah impor. Jadi, jangan heran kalau nanti akan banyak seller dari Tiongkok jualan di Lazada atau Tokpedia. Barang langsung dikirim dari sana dengan ongkir murah bahkan gratis. Kok bisa? Mereka punya program OBOR (One Belt One Road) alias jalur sutra abad ke-21. Sialnya, pemerintah kurang aware dalam geostrategi seperti ini. Bahwa barang marketplace 94% impor, Kemendag baru sadar akhir-akhir ini.

Alibaba telah mengakuisisi Lazada senilai US$3,5 miliar.  Tokopedia senilai US$1,1 miliar. Sedangkan Shopee—pesaing Tokopedia dan Lazada di tiga besar marketplace yang paling banyak penggunanya di negeri ini—dimiliki Chris Feng dari Singapura. Data dari BI, total nilai transaksi marketplace di Indonesia adalah Rp75 triliun pada tahun 2017, dengan jumlah konsumen 24,7 juta. Tahun 2018 mencapai Rp100 triliun dengan persentase produk asing 94%, dan lokal 6%.

Bagaimana mereka memperlakukan pasar kita yang sangat besar itu? Miliaran dolar meraka telah dan siap kucurkan lagi untuk menguasai pasar e-commerce kita. Di seluruh kawasan Asean,  Indonesia adalah pasar terbesar, 87% dari total pasar e-commerce Asia Tenggara. Miris rasanya bahwa kita diserang  dan dikuasai dari berbagai arah. Darat dan Udara, dunia Nyata dan Maya.●(dd)

pasang iklan di sini