hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

SERIBU BUNGA

“Biarkan seratus bunga mekar” Lewat ungkapan Cina kuno itu  Mao Tse Tung membiarkan kritik berhamburan secara bebas terhadap  pemerintahannya. Sedikit saja yang  curiga kalau Ketua Partai Komunis Cina itu tengah menjebak lawan politiknya ‘keluar kandang’. 

Dalam pidato selama empat jam di depan para kroninya, 27 Februari 1957, Mao membeberkan program cuci otak secara besar-besaran terhadap kalangan intelektual dan kaum terpelajar yang gencar menghujat kebijakannya. Terkait  rencana jahat itu, Jung Chang dan Jon Halliday dalam bukunya: Mao, The Unknown Story mengutip ucapan Mao yang vulgar. “Biarkan setan-setan sapi dan hantu-hantu ular itu mengecam kita untuk beberapa bulan.”

Jebakan Mao berhasil.  Ketika kran kritik itu dibuka, ketidakpuasan merebak di mana-mana terutama melalui poster-poster di dinding maupun ruang diskusi terbatas. Rakyat yang sudah muak dengan Mao, mengecam monopoli kekuasaan oleh komunis sebagai sumber dari keburukan, sementara kalangan intelektual menganalogikan ‘konstitusi sebagai tisu toilet’, dan kalangan pegawai menuntut ketaatan terhadap aturan hukum alih-alih perintah partai. 

Empat bulan berselang, masa  bunga bermekaran yang singkat itu ditutup. Pada 12 Juni Mao mengumumkan gerakan anti-kanan dan menangkapi ratusan ribu kalangan intelektual dan pelajar.  Sedikitnya sebanyak 550 ribu orang dicap ‘kanan’, sebagai musuh negara, diciduk dan dieksekusi di tiang gantungan atau dideportasi ke tempat terpencil menjalani kerja paksa.

Kekejaman dan pembunuhan bagi Mao adalah menu sehari-hari, hampir setiap saat ada orang yang mati, karena ia melawan rezim penguasa dan sebagian besar lainnya mati karena kelaparan.   

Sepeninggal Mao yang wafat pada 1976, perekonomian Cina memang jauh lebih baik ketimbang pertama kali Republik Cina didirikan pada tahun 1949. Namun kemiskinan masih menghantui negeri semiliar penduduk ini. Pemimpin partai komunis yang baru Deng Xiao Ping merubah kebijakan ekonomi dengan membuka kran investasi asing besar-besaran. Kredonya kala itu. “Tidak peduli kucing itu warna hitam, atau putih, yang penting bisa menangkap tikus“. Maksud Deng, apalah artinya paham komunisme maupun kapitalisme, jika tidak menciptakan kemakmuran maka ia bukan paham yang baik. Dan kemiskinan Cina bukanlah karena mereka komunis. Di tangan pragmatisme Deng, Cina bergulir menjadi negara ‘kapitalisme yang malu-malu’. Dalam 30 tahun, reformasi Deng  berhasil mengangkat lebih dari 700 juta orang Cina dari kemiskinan. Ia juga mengantarkan Cina menjadi raksasa ekonomi terbesar dunia di bawah AS. Seperti halnya Mao, bagi Deng daulat negara lebih utama ketimbang kesejahteraan rakyat. Ia memang berhasil meningkatkan taraf perekonomian, tetapi kejayaan negara di atas segalanya. Deng tetap saja berwajah Mao, ketika pada musim semi 1989 ia membiarkan militer menggilas lebih dari 10.000 demonstran di lapangan Tiananmen. Aksi yang dimotori mahasiswa itu menuntut kebebasan politik yang lebih lapang dan menolak sensor. Tetapi bagi partai komunis, ketaatan terhadap negara adalah harga mati, lantaran itu partai menguasai dan menyensor semua aspek kehidupan, mulai dari mata pelajaran sekolah, tontonan di TV hingga internet.

Dari Deng Xiao Ping, kita belajar sebuah seni pemerintahan.  Komunisme boleh jadi merupakan antitesis dari praktik demokrasi,  tetapi bagi negeri berpenduduk satu miliar seperti Cina, demokrasi bukan pilihan terbaik. Mereka membutuhkan kehadiran pemimpin bertangan besi, atau setidaknya sebuah kebijakan tangan besi seperti ditunjukkan oleh Zhu Rongji ketika memberantas korupsi di kalangan para pejabat negeri. Saat menjabat Perdana Menteri Cina pada 1998, Zhu membuat statemen berani. “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor.  Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu,” ucapnya tegas. Ia tak asal bicara, ribuan pejabat negeri berpengaruh seperti Cheng Kejie, tokoh sentral Partai komunis Cina dihukum mati karena menerima suap lima juta dolar AS. Cheng hanya satu contoh dari lebih 4.000 orang di Cina yang telah dihukum mati sejak 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi. Amnesti  Internasional mengutuk cara-cara keji itu, tapi bagi Zhu Rongji itulah jalan untuk mencegah Cina dari kehancuran.  (Irsyad Muchtar)

pasang iklan di sini