“You are a toy,” hardik Sheriff Woody. Ia ingin menyadarkan Buzz Lightyear, bahwa ia tak lebih dari sekadar boneka plastik belaka, mainan anak-anak. “Kamu produk mana Buzz, Singapura atau Hongkong?” Buzz meradang, ia tetap ngotot mengaku sebagai pahlawan ruang angkasa yang kebetulan terdampar di tengah komunitas para boneka.
Potongan dialog dalam film animasi Toy Story tahun 1995 itu menarik, lantaran adanya penolakan jati diri sebagai boneka di tengah komunitas para boneka. Memang hanya sekadar kartun, tapi John Lasseter sutradara film ini berhasil mengangkat tontotan anak-anak menjadi demikian menggugah. Buzz yang keras hati dihadapkan pada realita, bahwa ia tak lebih dari sebuah produk massal yang kembarannya banyak dijual di toko mainan dan supermarket. Ada masygul di wajahnya lantaran tahu bahwa ia bukanlah seperti yang selama ini ia anggap hebat. Dan nasihat Woody lagi, tokoh boneka utama di film yang sekuel ke empatnya baru selesai tahun 2019 lalu, menjadi boneka jauh lebih baik ketimbang mengkhayal sebagai satria super antargalaxy.
Woody boleh jadi benar, di tahun 1605 Miguel de Cervantes di Spanyol menghidupkan kisah tokoh penghayal berat, Don Quixote. Lantaran terlalu banyak membaca buku-buku kepahlawanan, satria dari La Mancha ini mengalami delusi, ia justru merasa pahlawan yang sesungguhnya itu. Quixote lalu menjual semua harta termasuk rumahnya untuk bertualang memerangi kejahatan. Dalam angannya, ia menunggangi seekor kuda gagah, berbaju zirah dan tombak terhunus, menggempur raksasa dan membunuh naga. Tetapi publik dengan menahan tawa hanya melihat seorang pria paruh baya, memakai perkakas dapur rombengan, menunggangi seekor keledai kurus tengah menyerang kincir angin.
Selewat empat abad, satir romansa Don Quixote masih tetap enak dibaca. Novel yang menandai salah satu era keemasan kesusasteraan Spanyol ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, termasuk Indonesia, yang konon negara ke 146 yang baru saja menerjemahkan novel utuh setebal lebih dari 1000 halaman itu.
Pesona Quixote tak cuma sekadar lucu bahkan tak jarang slapstick, ia menertawai keseharian manusia yang acapkali bertindak di luar nalar dan kemampuan.
Dua abad sebelum Don Quixote ditulis, kita mengenal tokoh satir Nasrudin Hoja (1372-1432). Cerita tentangnya ditemukan pada abad 15 dalam manuskirp Ebu ‘l-Khayr-i Rumis Saltuk-name (1480 M). Sufi yang hidup di masa dinasti Seljuk,Turki, ini dikenal karena anekdotnya yang menyerempet kekuasaan.
Suatu ketika, Timur Lenk (1335-1405) menghadiahkan seekor keledai. Ia meminta Nasrudin mengajari keledai itu membaca dalam waktu dua pekan. “Kita akan lihat bagaimana cara keledai mu membaca,” kata penakluk dan penguasa Turki itu. Ia memang sengaja ingin mempermalukan sufi cerdik itu dengan permintaan tak masuk akal. Dengan kalem, Nasrudin memenuhi permintaan tersebut, dan dua pekan berikutnya ia kembali membawa keledainya ke istana Timur Lenk. Sebuah buku besar sudah disiapkan untuk keledai membaca. Nasrudin menuntun keledainya menuju buku tersebut, lalu membuka halaman pertama. Keledai mulai mengamati bait perbait dari isi buku itu, usai melihat isinya, ia kemudian membalik halaman berikutnya dengan lidahnya. Dan begitu selanjutnya hingga sampai halaman terakhir, lalu si Keledai menatap Nasrudin Hoja.
“Demikianlah tuan, keledaiku sudah selesai membaca,” lapornya kepada Timur Lenk.
“Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?” Timur Lenk menyelidik. Jawab Nasrudin, sesampainya di rumah, ia menyiapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan pada setiap lembaran ia sisipkan biji-biji gandum di dalamnya sehingga keledai harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji gandum itu, akhirnya ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar.
“Bukankah keledai itu tidak mengerti apa yang dibacanya?” sergah Timur Lenk tidak puas. Tetapi, tukas Nasrudin dengan enteng, memang begitulah cara keledai membaca; hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kearifan terkadang tak selalu lahir dari kata-kata bijak seorang besar seperti Socrates, Gandhi atau para rasul dan nabi. Ia bisa muncul dari parodi naif Don Quixote, boneka plastik Buzz Lightyear dan pergumulan hidup di tengah masyarakat kita. (Irsyad Muchtar)