ADA pencerahan religius ketika pedagang batik di Solo itu usai menunaikan ibadah haji di tahun 1905. Supandi Wiryowikoro nama pedagang itu mulai menyadari bahwa menjadi kaya saja tidak cukup. Sebagai muslim yang berlebih secara ekonomi, ia dituntut untuk memikirkan nasib masyarakatnya yang kala itu hidup di bawah himpitan penjajah yang rakus.
Memasuki awal abad 20 itu, Ia hijrah, mengganti namanya menjadi Haji Samanhudi dan mendirikan organisasi dagang bernama Syarikat Dagang Islam (SDI). Berdirinya SDI tidak hanya sebuah serikat ekonomi para pengusaha batik nonpolitis. Wadah dagang ini merupakan respon terhadap politik kolonial Belanda yang diskriminatif. Perlakuan terhadap pedagang asing (cina) kala itu lebih istimewa, yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Itu sebabnya, pikir Samanhudi, kaum pribumi harus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan mereka, kepentingan ekonomi sekaligus agamanya.
Bagaikan bola salju, organisasi borjuis pribumi ini bergulir kian besar dan berubah orientasi menjadi gerakan kebangsaan. Tentu saja kita tidak memungkiri lahirnya organisasi para priyayi di sekolah kedokteran Stovia bernama Boedi Oetomo itu punya andil besar dalam pergerakan kebangsaan. Tetapi gagasan gerakan penyadaran itu sudah dimulai lebih awal oleh SDI. Gerakan yang belakangan menghapus embel-embel ‘Dagang” nya, bergerak kian masif tanpa sekat-sekat aturan birokrasi kecuali agama. Untuk kali pertama di alam kolonial itu, SDI yang telah berubah menjadi Syarikat Islam (SI) menggelar kongres pertama pada 26 Januari 1913 di Surabaya, yang dihadiri sekitar 80.000 anggotanya.
Dimotori oleh Omar Said Tjokrominoto, SI berubah menjadi organisasi sosial politik, sekaligus organisasi pergerakan pertama yang mampu memobilisasi massa dalam sebuah rapat akbar. DI bawah himpitan kolonial yang rakus kala itu, langkah SI mengumpulkan puluhan ribu massa, memang bukan peristiwa biasa. Setidaknya, sejarah mencatat rapat akbar kaum pribumi Islam itu yang terbesar dan kali pertama digelar di alam penjajahan Belanda.
Banyak sebab yang dapat memicu lahirnya pergerakan massal, boleh jadi karena tekanan rezim yang korup, ketimpangan ekonomi yang bermuara pada kemiskinan massal seperti revolusi rakyat yang terjadi di Perancis pada 1789. Tetapi faktor ideologi juga memainkan peran yang tidak kalah penting, seperti halnya SI, organisasi yang semula hanya melindungi kepentingan kelompok kecil pedagang (batik) bergulir menjadi pergerakan politik.
Lebih dari satu abad kemudian, gerakan dengan nyali yang sama itu kembali meletup, kali ini dipicu oleh respon pelecehan terhadap agama. Jutaan umat Islam dari berbagai aliran menyemut di Silang Monas pada 2 Desember 2016 untuk satu kepentingan yang sama, menuntut penghakiman terhadap Ahok, Gubernur DKI Jakarta, yang dinilai telah melecehkan agama Islam.
Ada pro kontra memang, tetapi gerakan yang dipicu sentimen primordial berlabel 212 itu berakhir mulus. bahkan berlanjut dengan aksi reuni yang bakal digelar setiap tahun. Sejumlah tokoh yang membidani lahirnya aksi 212 memang hendak menjaga momentum besar itu, sekaligus menjadikan gerakan 212 sebagai gerakan politik nasionalisme Islam. Tentu saja tidak ada yang salah, terlebih jika gerakan 212 bergerak ke arah penyadaran ekonomi umat Islam Indonesia yang sudah sekian lama tertidur. (Irsyad Muchtar)