Pengusaha ayam potong ini tahu persis rasanya bangkrut. Ludes. Ia harus merumahkan 29 karyawannya. Melangkah dengan usaha kuliner. Dari nol. Kini ia menjual 30.000 ekor ayam/hari.
SELEPAS SMA Negeri 1 Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, tahun 1990-an, ia langsung ke Jakarta merantau mengadu nasib. Semula tinggal di rumah pamannya, di daerah Kampung Pulo, Jakarta Timur. Bekerja serabutan. Dari penjual jam di Mester Jatinegara hingga pedagang kaki lima. Ia merasakan kejamnya Ibu Kota. Terutama jika sudah bertemu preman, pungli. Ia memilih tak mencari masalah. Kalau menemukan hal seperti itu, ia mengalah.
Tiga bulan berlalu cuma mentok jadi kenek. Penghasilannya cuma Rp5.000 per hari. Saat menjadi sopir (metro mini, bus kota dan taksi) meningkat menjadi Rp15.000. Dengan uang yang terkumpul ia fokus belajar komputer selama delapan bulan. Dia diterima bekerja di pabrik keramik tahun 1995-an di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Gajinya bisa dibilang turun yakni cuma Rp4.600. Cuma, Rudi bisa tinggal gratis di mes pegawai milik perusahaan.
Di dalam mes, alah satu temannya yang beternak ayam kecil-kecilan. Dalam 30 hari temannya panen. Itu menghasilkan uang tambahan. Tiap hari melihat, terbersit pikiran baru. Rudi tertarik. Dia ingin beternak ayam. Modalnya cuma Rp3,5 juta hasil pesangon dan tabungan. Di tahun 1996, didirikan kandang ayam pedaging untuk 2.000 ekor ayam, bekerja sama dengan penduduk sekitar di Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Banten. Modalnya Rp1,9 juta dan sewa lahan.
Lahan 5.000 m² disewa dengan hitungan Rp100/ekor. Panen pertama setelah 35 hari menghasilkan Rp1,5 juta. Uang itu diputarkan lagi untuk kandang baru. Jadilah usahanya lebih besar. Pas krisis moneter tahun 1997, Rudi ikut bangkrut. Soalnya, bahan baku impor naik dua kali lipat. Padahal, harga jual ayam potong tak naik. Rudi menyewakan kandang-kandang ayamnya. Juga memberhentikan 29 karyawannya. Selama enam bulan aneka pekerjaan dikerjakan. Salah satunya kembali jadi sopir lagi.
“Saya lalu berpikir, lebih baik menjual daging ayam saja,” ujarnya. Menjadi pedagang daging tentu beda dari beternak. Rudi merasakan, di hari pertama berjualan. Stok daging 10 kilogram, tapi hanya sepotong paha laku dijual seharga Rp.15000. Ia harus bangun pukul 04:30 dimana pasar mulai ramai sampai pukul 07:00 di Pasar Ciruas, Kabupaten Serang, Banten.
Daging dipotong dan dibersihkan sendiri. Dia menjaga kepercayaan pelanggan. Dalam dua-tiga hari sudah terkumpul uang buat membayar peternak patnernya. Pelangganya tak lagi cuma pembeli pasar, tapi tukang sayur, hingga pemilik rumah makan, dan juga penjual pecel lele. Ayamnya ditawarkan melului sistem jemput bola. Dia sendiri yang mendatangi pembeli.
Kualitas ayamnya dijaganya. Tidak cuma menawarkan ayam potong. Dia juga menawarkan kembali ayam utuh. Di tahun 2004, ia telah mampu menjual 1.200 ayam/hari ditambah penjualan daging ayam di Pasar Ciruas. Lewat utang dari bank, peternakan miliknya dibangun kembali.
Rudi kini memiliki 17 kandang ayam yang tersebar di Kabupaten Pandeglang, Serang, Lebak, dan Kota Serang. Dengan bendera PD Hiber Jaya, sejak 2011, bisnisnya menyalurkan 30.000 ayam/hari yang didistribusikan ke Banten, Jakarta, Lampung, Sumsel, Kepri, bahkan Kalimantan. Jumlah mitra sekitar 100 peternak mandiri dan 20 perusahaan. Omzet sudah miliaran. “Yang lebih penting kita bisa membuktikan bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin, kalau kita mau berusaha,” ujar Rudi Chandra.●