ADA yang menarik dari seminar hasil penelitian di Bank Indonesia dengan tema ‘Designing waqf-based Islamic Financial Institutions Models’ yang berlangsung pada 17 mei 2018. “Dengan menggunakan teknik delphi, Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa koperasi adalah lembaga yang diminati oleh para pakar baik akademisi maupun praktisi keuangan Islam untuk dijalankan dengan basis wakaf, selain bank dan modal ventura”, jelas Ascarya yang merupakan peneliti, dibantu Jardine A. Husman dan Hendri Tanjung. Bagaimana operasionalnya?
Koperasi berbasis wakaf ini merupakan ide dari serangkaian pemikiran untuk menciptakan lembaga keuangan yang asli milik ummat Islam, tidak meniru dari lembaga keuangan manapun di dunia. Jadi, sifatnya adalah mendesain koperasi berbasis wakaf. Kenapa harus berbasis wakaf? Karena sejarah membuktikan bahwa wakaflah yang membuat ekonomi berkembang. Bayangkan saja, kalau dengan wakaf, pokoknya tidak boleh berkurang. Hasilnya yang disedekahkan. Ini artinya, pertumbuhan. Ekonomi akan bertumbuh dengan wakaf. Pertumbuhannnya pun alamiah, karena aset yang diwakafkan biasanya aset riil, yang dikembangkan melalui sektor riil dalam perekonomian. Sejarah menunjukkan, wakaf produktif telah menggerakkan perekonomian di zaman Turki Ustmani. Di turki, menurut penelitian Cikazca (2004), wakaf produktif dipraktikkan hampir 300 tahun dari tahun 1555-1823 M. Lebih dari 20 persen wakaf produktif di kota Bursa, bertahan lebih dari 100 tahun. Dalam pengelolaannya, hanya 19 persen wakaf produktif yang tidak bertambah, sementara 81 persen mengalami pertambahan (akumulasi).
Kalau basisnya wakaf, siapa anggotanya? Penelitian menunjukkan bahwa anggota koperasi yang paling disetujui oleh para pakar terdiri dari lembaga wakaf dan perusahaan yang dimiliki swasta. Maksudnya, lembaga wakaf dapat menjadi anggota koperasi ini. Begitupun dengan perusahaan swasta, dapat menjadi anggota koperasi ini. Dana -dana wakaf yang dikumpulkan oleh lembaga-lembaga wakaf disetor sebagai modal awal koperasi berupa simpanan pokok dan simpanan wajib. Perusahaan swastapun menyetorkan simpanan pokok dan wajib nya. Sehingga, anggota terdiri dari 2 jenis, yaitu lembaga wakaf dan perusahaan swasta. Lalu, anggota ini, memutar modal koperasi untuk usaha. Sisa hasil usaha (SHU) inilah sebagian yang akan diberikan kepada lembaga–lembaga wakaf dan perusahaan swasta anggota koperasi. Lembaga wakaf akan menggunakannya sebagai sedekah dan yang akan dimanfaatkan untuk penerima manfaat wakaf (mukuf ‘alaih). Sebagian keuntungan (SHU) lagi, diperuntukkan cadangan modal, dan sebagian lagi untuk pengurus dan pengelola koperasi.
Para pakar lebih memilih orientasi bisnis yang dilakukan oleh koperasi wakaf adalah seimbang antara komersial dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa komersial dan sosial tidak dapat dipisahkan.
Bisnis itu, ada komersialnya, dan ada sosialnya. Buktinya, suatu waktu, Abu Hanifah menaikkan harga beli kain, karena beliau tahu ada orang yang menjual kain dalam kondisi sangat membutuhkan uang. Tetapi, agar orang yang menjual itu merasa tidak dibantu, Abu Hanifah menyuruh penjual tersebut untuk mengecek harganya ke pasar. Sebelum penjual tersebut sampai pasar, Abu Hanifah sudah mengontak para pedagang untuk menaikkan harga barangnya. Singkat cerita, si penjual tadi memang yakin bahwa harga jual yang dia akan lakukan dengan Abu Hanifah betul betul harga pasar. Padahal, di atas harga pasar. Ini dilakukan agar si penjual terlindung harga dirinya dari mendapatkan bantuan berupa sedekah (lihat kitab mausu’atul akhlaq waz zuhdi war Raqaiq (juz 1) karya Yasir ‘Abdur rahman dalam sub-bab Ar Rahmah bil Muhtajin).
Bukti lain, di lain waktu, Abu Hanifah menyuruh anak buahnya untuk menjual beberapa potong kain. Dalam tumpukan potongan kain tersebut, terdapat satu kain yang cacat. Ternyata, semua tumpukan kain habis terjual. Lalu Abu Hanifah bertanya, kepada siapa kalian jual kain yang cacat tadi? Tidak seorangpun ingat. Abu Hanifah lalu menyedekahkan semua keuntungan (laba) yang diperoleh dari penjualan kain-kain tersebut sebagai kompensasi menjual barang cacat tanpa ingat siapa yang beli kain cacat tersebut.
BERBASIS MASYARAKAT
Level operasi koperasi berbasis wakaf yang diinginkan oleh para pakar adalah nasional, komunitas dan mikro. Hal ini memberi kesimpulan bahwa koperasi berbasis wakaf yang dapat didirikan adalah koperasi berskala nasional, berskala komunitas, atau berskala mikro. Koperasi berskala nasional dapat dilakukan oleh koperasi besar, yang berbasis masyarakat. Koperasi berbasis komunitas dapat dilakukan oleh koperasi karyawan. Sedangkan Koperasi berskala mikro dapat dilakukan oleh BMT.
Lalu, modalnya dalam bentuk apa? Para pakar lebih memilih bentuknya adalah wakaf uang, infak/donasi, dan qardhul hasan. Jelas, bahwa wakaf uang itu diperuntukkan memperkuat permodalan dari koperasi syariah. Itulah yang sekarang sudah dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI sudah memberi izin kepada 143 koperasi syariah/BMT untuk menjadi nazir wakaf uang dengan tujuan untuk memperkuat permodalan. Namun, kendalanya saat ini, pelaporan dari para koperasi syariah/BMT tersebut sebagian besar tidak ada. Jadi, masalah pelaporan menjadi kendala di koperasi syariah/BMT ini. Untuk itu, Kementerian Koperasi bekerjasama dengan BWI akan melakukan monitoring dan evaluasi (monev) kepada koperasi syariah/BMT yang sudah diberi izin nazir wakaf uang secara berkala. Pada Mei bulan lalu, monitoring dilakukan di DIY Yogyakarta, kepada 11 koperasi syariah/BMT.
Lalu, ke bisnis apa sebaiknya koperasi syariah berbasis wakaf bermain? Penelitian merekomendasikan ke bisnis ritel, bisnis kecil dan menengah, bisnis besar, manajemen aset, dan investasi. Investasi yang dilakukan dapat berbentuk sektor riil, maupun sektor keuangan.
Bentuk pembiayaan yang dapat dilakukan ada 3, yaitu equity financing dengan akad mudharabah, dan musharakah; trade financing dengan akad murabaha, ijarah, salam dan istisna’; dan investasi di sektor riil. Sementara itu, bentuk mitigasi risiko yang dianjurkan dalam penelitian adalah takaful dan pengawasan.
Koperasi syariah berbasis wakaf juga dapat mengumpulkan zakat dan infaq dari lembaga-lembaga wakaf, karyawan dan anggota. Sementara itu, koperasi juga dapat mengumpulkan wakaf dari karyawan, anggota dan setiap muslim non anggota yang ingin berwakaf. Alokasi zakat, infaq dan wakaf ini dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan lembaga-lembaga zakat dan lembaga-lembaga wakaf yang ada, atau disalurkan sendiri kepada mustahiq untuk tujuan konsumtif maupun produktif.
Jelaslah bahwa ke depan, koperasi syariah hendaknya juga mengelola wakaf, disamping zakat, infaq dan sedekah. Mengelola wakaf, bisa berarti dua pola. Pola pertama adalah mengumpulkan wakaf uang untuk dijadikan modal. Yang kedua adalah wakaf melalui uang, yang diperuntukkan membangun rumah sakit, rumah tahfiz atau mesjid; atau untuk membeli sawah yang akan dijadikan aset wakaf, singkatnya wakaf sawah.
Jadi, kalau ada pertanyaan “Quo vadis koperasi syariah?”, jawabannya Koperasi syariah berbasis wakaf!
Penulis adalah Ketua Pengawas Syariah Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI) dan Anggota Badan Wakaf Indonesia (BWI)