Pertanyaan itu meluncur berulang kali. Mengapa bisnis koperasi yang kental dengan muatan sosialisme justru tumbuh subur di negeri-negeri pemuja kapitalisme. Jangkar koperasi kelas dunia seperti Mondragon (Spanyol), Rabobank (Belanda), Agricole (Perancis), Arlafood (Denmark), Zen-noh (Jepang) atau Ace Hardware (AS) tak kunjung henti jadi parameter koperasi sukses. Sementara realitas koperasi di negeri ini terus kerdil, setara dengan UKM, tak lebih dari sekadar pelengkap ekonomi dengan pemain besar para konglomerat, dan lip service penguasa. Apakah lantaran faktor manusianya kah atau kebijakan yang kita tahu memang tidak memihak.
Kendati melenceng dari jati dirinya, pamor koperasi sempat melambung ketika pemerintah Orde Baru menginisiasi lahirnya Koperasi Unit Desa (KUD) pada 1973. Ini memang koperasi model yang dipaket dari “atas” (top-down) tanpa inisiatif maupun partisipasi anggota. Saking kuatnya cengkraman top-down itu menyebabkan KUD tak lebih dari sekadar instrumen penguasa dalam melempangkan pencapaian swasembada beras. Dan seperti yang kita saksikan bersama, ketika rezim Orde Baru tumbang, perlahan KUD ikut tenggelam.
Historis KUD memang berbeda dengan koperasi di Eropa, seperti Rochdale, Raiffeisen, Schulze Delitzsch yang lahir dari inisiatif anggotanya (bottom-up). Sebuah ideal pendirian koperasi yang kerapkali diingatkan Bung Hatta.
Saya tidak bermaksud untuk memperlebar dikotomi antara koperasi top-down dan bottom-up, juga tak ingin menegasikan satu di antaranya, tetapi untuk mengafirmasi bahwa kiblat perkoperasian tidak melulu mengacu pada sukses Rochdale di Manchester Inggris. Hans H Munkner dalam bukunya Co-operative Principles & Co-operative Law, menyitir koperasi dapat bergerak lentur, menyesuaikan diri dengan kebijakan ekonomi atau politik suatu negara. Misal, apakah ia akan menjadi corong penguasa, gerakan organisasi nirlaba atau menggagas bisnis setara kaum pemodal besar. Muatan lokal yang berkorelasi dengan terma sosial, budaya maupun politik diakui punya daya pikat dan daya rekat kuat terhadap tafsir tujuh prinsip jati diri koperasi yang universal itu. Eropa yang lebih dulu modern sejak awal abad 20 tentunya ikut memberi kontribusi signifikan bagi praktik berkoperasi. Regulasi perkoperasian di benua biru itu semakin pragmatis dimana koperasi boleh dimiliki oleh hanya dua orang saja. Bandingkan dengan di Indonesia yang menyaratkan koperasi didirikan minimal oleh 20 orang. Lebih lugas lagi Dawam Rahardjo menghentak kesadaran kita tentang koperasi sebagai “soko guru” perekonomian itu sebagai produk pemikiran lokal, alih-alih pernyataan koperasi internasional. Mengacu lagi pada Munkner, gerak koperasi boleh dinamis mengikuti fatsoen kebudayaan lokal, namun yang tak boleh bergeser adalah prinsip kesetaraan yang demokratis itu. Anggota bergabung secara suka rela, saling memiliki, mengendalikan dan tolong menolong.
Sri Edi Swasono menengarai saling tolong menolong itu sebagai mutualism and brotherhood, pijakan bagi upaya membangun kekuatan dan kebersamaan yang mampu menciptakan pemberdayaan diri (self-empowerment). Koperasi dengan credo mutual self help, menolong diri sendiri secara bersama-sama, merupakan pakem yang padanannya sulit kita jumpai dalam korporasi individual.
Meminjam ungkapan Herman Suwandi, dinamika mutual self help itu adalah sebuah Harmoni, istilah yang secara diametral dihadapkan dengan Konflik. Guru besar Sosiologi dan Koperasi di Universitas Pajajaran dan Institut Manajemen Koperasi Indonesia itu mencirikan dimensi harmoni menempatkan masyarakat pada jalinan keserasian tanpa distorsi-distorsi yang sifatnya kontroversial. Sementara, pada sisi lain, dimensi Konflik menggiring masyarakat ke kancah gejolak, dialektika dan kompetisi. Dalam konteks perkembangan koperasi kita, ketika dimensi harmoni terabaikan maka yang muncul adalah kegaduhan, seperti letupan yang terjadi pada Koperasi Indo Surya, Hansoon dan deretan “koperasi juragan” milik korporasi besar lainnya yang gagal menafsirkan makna dual identity. Anggota sebagai pemilik sekaligus pemakai produk koperasi. (Irsyad Muchtar)