Ide brilian itu digagas pada tahun 1969. Menjual teh dalam botol. Agak lucu campur konyol, lantaran tradisi minum teh sejak zaman baheula adalah diseruput dalam kondisi hangat bahkan selagi panas. Tetapi Sosrojaya, pengusaha teh asal Slawi, Jawa tengah itu bergeming dengan gagasannya. Boleh jadi karena ia sudah lelah juga menyeduh teh dalam panci-panci besar, lalu dipasarkan dengan mobil bak terbuka. Repot banget.
Belakangan pasar menyambut gagasan cara minum teh yang lebih praktis itu (kendati adem). Teh Botol Sosro menyeruak di berbagai pasar dan industri bisnis makanan. Iklannya terpampang di pelbagai sudut kota. ”Apapun makanannya, Teh Sosro minumannya.”
Sosro bukanlah yang pertama menyuguhkan minuman dalam botol. Satu abad ke belakang, ketika Coca Cola masih dijual dalam secangkir gelas hangat. Peraciknya adalah John Styth Pemberton pada 8 Mei 1886 di Atlanta, Georgia.
Awalnya, semacam jamu dengan racikan antara kokain, daun teh yang sudah layu, gula dan sedikit alkohol. Sangat tidak menarik selera publik. Tetapi, Pemberton, dokter farmasi itu mengklaim ramuannya menyembuhkan berbagai penyakit, seperti morphine addiction, sakit kepala, impotensi, dan sekaligus sebagai minuman penyegar.
Lantaran positioning-nya produk untuk kesehatan, Coca-Cola dijual layaknya obat. Di kedainya, Jacob’s Pharmacy, Pemberton menyajikan Coca-Cola dalam sebuah ketel tembaga berkaki tiga yang dijerang di atas api. Harganya lima sen dolar per gelas.
Hasilnya, adalah rugi. Di tahun pertama penjualan Coca-Cola hanya meraup dana US$50 padahal pengeluaran iklan mencapai US$74.
Ketika Pemberton wafat pada 1888, Asa Griggs Candler membeli saham Coca-Cola seharga US$1.200. Pada 1893, Coca Cola didaftarkan sebagai merk dagang.
Melalui investasi dan guyuran iklan besar-besaran, ia mengubah image Coca-Cola dari ramuan obat tak menarik menjadi minuman sirup yang laris manis. Untuk menjaga mutu agar tidak dicuri pesaing, Candler terlibat langsung dalam proses pencampuran setiap tetes sirup. Pemasaran pun meluas ke seantero Amerika.
Berbeda dengan Teh Sosro yang optimistis dengan era botol, Candler awalnya ragu apakah Coca Cola kemasan botol bisa laku di pasar. Ide itu muncul pada 1899, ketika Benyamin Thomas dan Whitehead membeli izin untuk membotolkan sirup Coca-Cola. Itu sebabnya Candler tak bereaksi dan menyerahkan hak pengemasan Coca-Cola botol begitu saja kepada pihak lain. Dan ia kecele, penjualan Coca-Cola botol, ternyata menembus pasar global.
Kini, minuman karbonasi yang banyak menuai kritik itu merebak di lebih dari 200 negara di dunia, direguk oleh lebih dari dari 1,9 miliar orang per hari.
Lewat rangkaian sukses yang panjang itu, bukan berarti Coca Cola atau Teh Botol sudah berada di atas angin. Coca Cola masih terus bertempur di pasar lokalnya sendiri menghadapi pesaing terdekatnya, Pepsi Cola yang terus mengancam, Dr Pepper atau Monster Beverage. Sementara Teh Botol memasang strategi menghadapi rivalnya seperti Frestea (Coca Cola), Sariwangi (Unilever), Pokka Green Tea (Singapura) dan NU Green Tea.
Seperti kata pepatah Cina, Shang chang ru zhan chang; pasar adalah medan pertempuran. Para raksasa minuman botol terus bertahan dengan berbagai inovasi produk. Secara geopolitis, nasib Coca-Cola lebih mujur. Tidak saja mampu menjual sahamnya ke tengah publik, jangkauan pasarnya pun berada di jantung pasar global. Coca-Cola juga identik dengan icon ekonomi Amerika Serikat, negara sangat protektif terhadap kepentingan pengusahanya di dalam maupun di luar negeri.
Konsep liberalisasi perdagangan yang selama ini mantra sakti negara-negara maju pada kenyataannya hanya melahirkan sistem yang tidak adil. Kalangan negara maju acap kali menuntut negara-negara berkembang mengadopsi ideologi perdagangan bebas, agar semua hambatan dalam bentuk tarif dan regulasi dagang dapat direduksi demi terbukanya pasar-pasar produk impor. Kenyataannya, negara berkembang sulit melakukan ekspor karena kesenjangan know-how dan peralatan. Maka, ketidakadilan pasar terus mengepung kita dengan ragam produk asing yang semakin akrab di telinga masyarakat kita, seperti Apple, Samsung, Nestle, Mc Donald, Starbucks, Grab dan lainnya. Terkini, Restoran Subway (AS), jaringan sandwich terbesar di dunia sejak tahun lalu juga sudah mejeng di sejumlah mal di ibukota.