hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Pinjam Fintech, Mau Untung Malah Buntung

Ratusan konsumen resah dengan tingginya suku bunga pinjaman fintech dan cara penagihan di luar batas kewajaran.

Sejalan dengan perkembangan teknologi digital yang pesat, jumlah perusahaan  financial technology (fintech) dalam satu tahun terakhir tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Oktober 2018, menyebut  ada 73 fintech yang terdaftar secara resmi. Umumnya mereka bergerak di bisnis pinjaman (peer to peer/p2p) lending.

Pada awalnya, kehadiran fintech dinilai sangat positif karena dinilai lebih luwes dan lincah dalam memberi pinjaman dibanding perbankan. Konsumen tidak perlu menyertakan agunan ketika meminjam dan proses pencairan pun cukup singkat. Bahkan, bagi sebagian konsumen  fintech dianggap malaikat penyelamat saat mereka dalam kondisi terdesak membutuhkan uang.

Namun bulan madu antara fintech dengan konsumen tidak berlangsung lama. Hal itu menyusul gerahnya sejumlah konsumen atas perlakuan yang mereka terima setelah meminjam uang dari lembaga tersebut. Sejak Mei 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menerima pengaduan dari 283 korban yang merasa dirugikan oleh pinjaman online tersebut. Terdapat 8 jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh fintech (terinci dalam box).

Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan, dari laporan yang diterimanya,  fintech yang diadukan ada yang sudah terdaftar maupun belum terdaftar di OJK. “Baik yang resmi maupun ilegal sama-sama melanggar,” ujarnya dihadapan media beberapa waktu lalu, tanpa merinci nama perusahaan pinjaman online yang diduga melanggar.

Pada umumnya, aduan para korban terkait dengan penagihan utang yang kasar dan bunga pinjaman yang tinggi. Rata-rata korban yang mengadu, terlilit utang pada lebih dari 10 fintech. Bahkan, ada korban yang memiliki utang di 35 perusahaan pinjaman online.  Hal ini karena mereka  tidak memahami  skema pengembalian pinjaman.  Para korban tak sanggup membayar bunga utang sehingga akhirnya membayarkan cicilan pada satu fintech dengan meminjam dari fintech lain.

LBH Jakarta mencatat, dari penuturan pengadu, mereka tidak dijelaskan besarnya denda keterlambatan angsuran. Untuk mengakomodasi keluhan konsumen, LBH Jakarta telah membuka posko pengaduan korban pinjaman online selama 4-25 November 2018.

Merespons data LBH Jakarta,  Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengklaim fintech yang diduga bermasalah adalah yang  ilegal atau tak terdaftar di OJK.  Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan status ilegal tersebut ditemukan dari hasil pemeriksaan asosiasi.  “Mereka adalah penyelenggara pinjaman online yang tidak legal dan tidak terdaftar di OJK. Kami tidak pernah menerima komplain atas anggota kami, baik di AFPI maupun di Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech),” ucap Sunu.

AFPI mengklaim, anggotanya dipastikan tidak melakukan tindakan penagihan pinjaman secara kasar. Ini karena mereka sudah memiliki kode etik tentang tata cara penagihan kepada konsumen. Bahkan sudah mengantongi sertifikasi collection yang sesuai aturan.

Tentang perilaku penagih utang (debt collector) yang meresahkan sebenarnya bukan hal baru. Jauh ke belakang, tepatnya pada 2012 publik dikagetkan dengan terbunuhnya Irzen Octa, nasabah Citi Bank ditangan debt collector. Kasus ini sempat menjadi perbincangan hangat dan berujung di pengadilan. Publik tentu tidak ingin kasus tersebut terulang kembali. (Kur).