hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Petrus

irsyad muchtar

Lelaki paruh 30-an itu, pada suatu malam diciduk oleh aparat tidak dikenal dari rumahnya di bilangan Ngasem, Yogyakarta. Ia dituduh Gali, kelompok yang sering diidentikkan dengan pengganggu keamanan. Esoknya, Ia ditemukan sudah menjadi mayat, tergelatak di jalan dengan tangan terikat ke belakang. Tancho, sebut saja nama lelaki itu, terbujur kaku dengan luka bekas tembakan menganga di punggung, menyiratkan dia mencoba melarikan diri sehingga aparat terpaksa menembak.

Apakah Ia seperti yang dituduhkan, Gali atau preman yang meresahkan? Keluarganya mencoba mencari keadilan, bahwa Tancho bukanlah seperti yang dituduhkan. Ia memang urakan tetapi Tancho tidak punya track record kejahatan, seperti pemerasan, perampokan apalagi pemerkosaan.

Proses pencarian keadilan keluarga Tancho macet di meja penguasa yang dingin dan kaku; tidak digubris. Di hari-hari berikutnya masyarakat dicekam ketakutan. Hampir setiap saat Tancho-Tancho lainnya ditemukan tewas tergeletak di jalanan. Ada yang terbungkus dalam karung, leher terjerat tali atau tangan terikat ke belakang dengan luka bekas tembak. Mayat para pria yang umumnya bertato itu juga ditemui mengambang di sungai, di pinggiran hutan bahkan di tengah pasar.

Yogyakarta sepanjang 1980-an adalah tahun yang mencekam. Kendati tidak berlaku jam malam tapi selepas magrib orang tidak berani keluar rumah lantaran khawatir menjadi sasaran penembak misterus. Media massa menjulukinya Petrus.

Sosok yang kemudian identik dengan kebijakan potong Kompas pemerintah Ordebaru dalam memberantas kejahatan.

Masih di era 1980-an, epidemi premanisme melanda New York City. Seperti dikisahkan Malcom Gladwell, sekelompok preman dihabisi oleh seorang tidak dikenal di sebuah kereta api bawah tanah. Usai menembak lima preman yang mencoba memerasnya, sosok tak dikenal itu melompat dari gerbong kereta api dan menghilang.

Kejadian itu menghentak publik Amerika karena kala itu angka kejahatan meningkat tinggi. Terjadi lebih dari 2.000 pembunuhan dan 600.000 tindak kekerasan dalam setahun. Di tahun yang sama, epidemi premanisme berlangsung di Yogyakarta. Aparat keamanan mendata lebih dari 3.000 preman dibunuh tanpa proses pengadilan. Boleh jadi jumlahnya jauh lebih besar karena sulit mendeteksi aksi petrus yang sangat rahasia dan tidak transparan.

Lalu dimanakah peran negara? Awalnya aparat keamanan menyangkal terlibat, namun belakangan Presiden Soeharto membuat pernyataan mengejutkan pemberantasan preman dengan cara Petrus adalah kebijakan negara.

Masalahnya, tidakkah di antara ribuan gali yang dieksekusi mati ada di antaranya korban salah sasaran? Adnan Buyung Nasution pengacara kondang dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengajukan keberatan. Ia menolak  tindakan brutal oleh negara. Sebagai manusia, para preman berhak mendapat keadilan melalui lembaga peradilan. Dan menembak di tempat, walaupun oleh petugas negara, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. (Sinar Harapan, 14 Mei 1983).

Tetapi tembok kekuasaan sangat tebal. Suara Adnan Buyung Nasution dan para pembela Hak Azasi Manusia lainnya menguap di udara. Rezim Orba yang pongah menutup telinga rapat-rapat. Sebuah rezim yang lahir dari dendam dan genosida jutaan orang di tahun 1965. Salah satu ciri penting dari proses pengambil keputusan rezim orba adalah politik potong kompas. Jika proses hukum dinilai tidak menguntungkan kebijakan penguasa, yang bertindak adalah Petrus yang tampil dalam berbagai bentuk; ia bisa membunuh tapi juga piawai mengadu domba.

Ketika markas Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta diserbu massa, pada sabtu pagi 27 juli 1996, Petrus muncul dengan wajah politik adu domba. Kerusuhan yang dipermukaan hanya ditengarai sebagai konflik internal perebutan kantor itu menyebarkan aroma politik busuk keterlibatan penguasa untuk melakukan pembiaran. Lima orang tewas, 149 orang luka, tapi bagaimana mungkin 23 orang bisa hilang dalam kerusuhan yang terjadi di pusat pemerintahan itu. Atau seperti yang belakangan kembali terjadi bagaimana mungkin ada sekelompok preman ‘kelas kampung’ berani membubarkan sebuah diskursus para tokoh nasional yang terdiri dari kalangan akademisi, politisi dan mantan militer? Siapa di belakang semua itu? Jose Ortega Y Gasset (1883-1955), penulis Spanyol itu mungkin benar, ketika dalam bukunya “The Revolt of The Masses” mengingatkan bahaya jika negara dipimpin oleh sekawanan preman dan bangkitnya massa yang tidak kritis.[]

pasang iklan di sini