Di ujung tahun 2016 jumlah koperasi tembus 212.135 unit, kuantifikasi yang meresahkan lantaran data berikutnya melaporkan hanya 30 persen saja yang mampu melaporkan kinerja usaha melalui rapat anggota. Jumlah lainnya ditengarai sebagai koperasi pasif, tidak aktif dan bahkan sudah lama bubar namun badan hukumnya masih terdaftar di data Kementerian Koperasi UKM. Koperasi yang biasa disebut dengan papan nama ini memang bak benalu yang dibiarkan begitu lama sehingga mengganggu kinerja perkoperasian secara nasional. Lantaran itu, saat menjabat Menteri Koperasi UKM, AAGN Puspayoga melakukan aksi bersih-bersih memangkas 62 ribu lebih koperasi papan nama, mengeluarkannya dari data resmi pemerintah.
Mengapa begitu banyak koperasi tumbuh namun tidak produktif ? Ini adalah konsekuensi logis dari kebijakan keliru di masa lalu dimana indikator sukses berkoperasi mengacu pada kisaran kuantitatif. Promosi kepangkatan sangat ditentukan oleh berapa banyak seorang pejabat mampu menumbuhkan koperasi baru.
Pergeserannya dapat kita ikuti sejak 12 Juli 1947 ketika gerakan koperasi dideklarasikan. Waktu itu hanya tercatat 574 unit koperasi dengan anggota 52.216 orang. Ketika Bung Hatta berpidato saat perayaan Hari Koperasi 1951, sebaran minat bertambah jadi 5.770 unit koperasi, dan pada 1959 sudah 16.601 unit dengan anggota mencapai lebih dari sejuta orang.
Ketika koperasi bergeser menjadi alat revolusi di masa Orde Lama, tahap ofisialisasi pun dimulai. Koperasi sebagai badan usaha rakyat nyaris kehilangan peran lantaran fungsinya bergeser menjadi alat kepentingan politik pemerintah.
Tahapan ofisialisasi tetap langgeng saat Orde Baru berkuasa di awal 1966. Puluhan ribu koperasi pro komunis disapu bersih dengan mengatasnamakan rehabilitasi. Jumlah koperasi yang kala itu 73.406 unit dengan anggota 11,7 juta orang, menyusut hingga 13,949 unit dengan anggota tinggal 2,7 juta orang pada 1969.
Begitulah, koperasi kita mengalami jatuh bangun bukan karena bisnisnya mandeg, tetapi sejalan irama politik. Tercerabut dari dinamika masyarakat dan sekadar alat kekuasaan dengan embel-embel soko guru ekonomi rakyat.
Ketika Muhammad Yunus tergerak menolong jutaan warga miskin, yang ia lakukan adalah meninggalkan berbagai teori ekonomi kapitalis yang bertahun-tahun ia pelajari di Amerika Serikat (AS). Lahirlah Grameen Bank, sebagai antitesis dari teori ekonomi yang muluk-muluk berbicara tentang kesejahteraan, tapi tak kunjung mampu menyelesaikan kemiskinan.
Ketimpangan ekonomi yang tajam akibat globaliasasi, kata Stiglitz, telah mencetak sedikitnya 2,8 miliar orang miskin di seantero dunia. Jumlah yang mendekati 45% dari populasi dunia itu, hidup dengan penghasilan dua dolar AS per hari.
Jika Stiglitz kenyang berteori dan menelanjangi kebusukan negerinya sendiri, Yunus di Bangladesh, mengunci mulut, bekerja dan bergumul di tengah orang-orang miskin. Ia bermimpi generasi masa depan hanya akan melihat kemiskinan itu di museum peradaban saja.
Kita tersadar bahwa memang banyak cara untuk memberdayakan orang miskin. Dan koperasi, kendati banyak mengundang keraguan, toh juga masih merupakan pilihan bijak.
Lihat saja Toyoshiko Kagawa (1880-1960). Anak orang kaya di Kobe, Jepang ini memilih koperasi sebagai jalan mengentaskan kemiskinan. Cita-cita orang tuanya untuk menjadikan Kagawa sebagai penerus kekayaan keluarga pupus, lantaran ia memilih jadi pendeta Kristen dan hidup kumuh di tengah kaum miskin Kobe.
Ia mendirikan berbagai koperasi dan serikat buruh untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Di luar Jepang Kagawa terkenal melalui berbagai tulisannya yang berbentuk prosa maupun puisi dengan tujuan yang sama.
Ketika tolok ukur sukses hanya mengacu pada besaran jumlah, sementara lahan untuk beraktualisasi makin menyempit. Masihkah kita berharap koperasi di negeri ini dapat memainkan peran ekonominya?.
Pertanyaan itu bukan tidak dapat dijawab, tetapi sebagian kita terkadang takut mengatakan sesuatu dengan jujur.
Irsyad Muchtar.