hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Nikolai

“Pada 1891, usiaku baru 10 tahun ketika Anda singgah ke Tomsk, Siberia. Hari yang indah, cuaca cerah, dan sekolah diliburkan untuk menyambut kedatangan Anda. Matanya tajam menatap lawan bicaranya yang sebentar lagi bakal ia tembak mati. “Please,” katanya, menyodorkan rokok yang baru diisapnya kepada Nikolai II Alexandrovich Romanov, kaisar terakhir Rusia. Ia menerimanya,  menghisapnya dalam-dalam seolah lama ia tidak merasakan nikmatnya merokok. 

Yakov Mikhailovich Yurovsky  melanjutkan ceritanya. “Aku memegang bendera dan melambaikannya ke arah Anda. Dan Anda mengangguk sambil melambaikan tangan.” 

“Ya , aku ingat,” balas lelaki itu. 

“Tidak ! Anda tidak ingat apa pun,  waktu itu aku hanya satu semut di tengah jutaan orang yang mengelu-elukan Anda,” hardik Yorovsky.

Sejenak Nikolai tercenung, ia menarik napas dalam.

“Aku sudah berusaha menjadi Tsar yang baik untuk keluargaku dan negaraku,” ujarnya pelan.

 “Tetapi apa yang kau lakukan untuk rakyat ?” Yorovsky membentak sambil menggebrak meja. Tak berkedip menatap kaisar yang turun tahta itu.

Percakapan berlangsung beberapa jam sebelum polisi rahasia Bolshevik itu menggiring Nikolai dan keluarganya ke ruang bawah tanah di sebuah rumah di Kota Ural, Yekaterinburg. Mereka disejajarkan di sebuah ruangan sempit lagi pengap. Di pagi dini pukul 02.00, Yurovsky  memberondongkan senjatanya ke tubuh Nikolai. Ia ambruk  bersimbah darah di depan istri dan lima anaknya yang menyusul ikut tewas diterjang peluru dan bayonet  selusin tentara yang tengah mabuk vodka. 

Sebelum eksekusi maut di pagi dini pukul 02.00 tanggal 17 Juli 1918 itu, Yurovsky membacakan surat dakwaan atas nama dewan buruh dan persetujuan pemimpin revolusi Vladimir Lenin, memvonis mati Nikolai II Alexandrovich Romanov. Ia dipersalahkan atas kematian lebih dari 1,8 juta tentara dan 1,5 juta warga sipil selama perang Dunia I yang meletus di tahun 1914. 

Revolusi Bolshevik yang heroik pada Oktober 1917 tidak hanya mengakhiri era monarki dinasti Romanov yang berkuasa lebih dari 300 tahun di Rusia, tetapi juga titik awal dimulainya pembantaian yang jauh lebih besar. Berbagai taktik dan teror menjadi senjata ampuh Bolshevik membungkam musuh-musuh mereka. Puluhan ribu orang dicap sebagai Class Enemies, ditahan di kamp konsentrasi dan sejumlah lainnya dieksekusi mati. 

Saya tercenung ketika memutar ulang film drama kematian itu lewat layer Netflix, The Lazt Czar. Film dengan setting Rusia yang gelisah di dasa warsa pertama abad 20 itu menggambarkan sosok Tsar yang gagal mengemban peran kekaisaran yang diyakini sebagai wakil Tuhan di bumi. Tentu saja yang ingin kita tonton dari The Last Czar adalah detik-detik akhir Ia dan keluarganya dihabisi secara dingin dan kejam. Sayang film sepanjang enam episode itu gagal menampilkan adegan paling klimaks penguburan jenazah keluarga Romanov. Yurovski   membutuhkan waktu 70 jam untuk mencari lokasi penguburan jenazah agar aksi brutal itu tertutup sejarah. 

Setelah 70 tahun lewat, ketika misteri kematian itu terkuak simpati terhadap keluarga Romanov di Rusia belakangan bangkit. “Bertahun-tahun kita diam tentang kekejaman ini, tapi hari ini kenyataan ini mesti diungkap,” ucap Presiden Boris Yeltsin saat upacara penyatuan kembali tulang belulang jasad keluarga Romanov pada 17 Juli 1998 di Katedral St Peter & Paul di St Petersburg.  Orang mulai kasak-kusuk  membicarakan kemungkinan kembalinya era monarki. Bukan tanpa sebab, lantaran otokratisme bisa lahir di berbagai bentuk pemerintahan, tak peduli sosialis, demokratis dan apalagi komunis. 

Tetapi, otokrasi, kata Leo Tolstoy, tidak untuk rakyat Rusia yang makin berasimilasi dengan budaya dunia. Otokrasi hanya hidup di pemerintahan kuno yang tidak mungkin lagi dipertahankan. Ia bahkan harus dilawan sekalipun dengan kekerasan.

Dan pada sosok ambiguitas Romanov kita memetik pelajaran berharga bahwa pemimpin memang harus disiapkan, bukan taken for granted.  

pasang iklan di sini