IA BERSUMPAH untuk hidup terus hingga keadilan atas dirinya dan ratusan ribu perempuan korban budak seks tentara Jepang ditegakkan. “Empat tahun lagi saya akan genap berusia 100 tahun, saya tak ingin mati sebelum bisa melihat mereka mendapat hukuman setimpal atas apa yang mereka lakukan terhadap saya.” tekad berbalut sumpah itu diucapkan oleh Wei Shaolan saat diwawancara Channel NewsAsia di tahun 2015. Wartawan stasiun televisi berita yang berbasis di Singapura itu menyambangi Wei di rumahnya yang suram, terbuat dari lumpur di wilayah Guilin, tenggara Cina.
Namun ia tak kuasa melawan perjalanan waktu dan takdir. Perempuan Cina yang diculik dan dijadikan Jugun Ianfu (budak seks tentara Jepang) di masa Perang Dunia II itu wafat 5 Juni 2019 lalu di usia 99 tahun. Wei adalah satu dari korban kebiadaban tentara Jepang yang menginvasi Cina selama 8 tahun. Di bawah komando Jenderal Matsui Iwane, Jepang memasuki kota Nanking pada 13 Desember 1937, membunuh setiap orang Cina yang ditemuinya.
Penyerbuan selama enam minggu itu tak hanya mengubah Nanking yang kala itu ibu kota Cina jadi lautan api. Jepang juga menciptakan neraka dan genosida. Sekitar 150 ribu tentara Cina yang sudah menyerah dan 50 ribu warga sipil dibantai dengan sadis. Data suram lainnya lebih dari 20 ribu perempuan – konon hingga 80 ribu segala usia diperkosa, lalu dibunuh dan dimutilasi.
Nasib Wei Shaolan agak beruntung lantaran ia sempat hidup. Ketika ditangkap kala itu usianya masih 24 tahun, tentara Jepang memperkosanya beramai-ramai selama berminggu-minggu. Setelah dengan susah payah berhasil kabur dari tahanan tentara Jepang, ia kembali ke rumah suaminya dalam kondisi hamil. Tentu saja ia dikucilkan dan menanggung aib puluhan tahun.
International Military Tribunal for the Far East memperkirakan selama aksi brutal itu lebih dari 200 ribu orang tewas. Sedangkan otoritas Cina mencatat genosida Nanking merenggut sekitar 300 ribu jiwa. Jumlah korbannya hingga kini memang masih simpang siur. Selain Cina membungkus rapi tragedi itu, para wanita korban perkosaaan umumnya bungkam atau boleh jadi dipaksa menutup rapat mulut mereka lantaran menjaga reputasi dan nama baik keluarga. Tragedi Nanking senyap dari publikasi bahkan nyaris cuma dianggap ilusi; itu sebabnya ia tak menyentuh nurani warga dunia.
Para saksi mata melihat banalitas Nanking melebihi Holocaust Yahudi di masa Nazi Jerman, genosida suku Tutsi dan Hutu di Rwanda 1994 atau pembantaian etnis minoritas muslim Rohingya di Myanmar 2017 yang memang kaya dengan variasi informasi dan drama.
Seusai perang dunia II, kendati pada gilirannya Jenderal Matsui Iwane dieksekusi mati atas tuduhan kejahatan perang, namun pelbagai catatan tentang tragedi Nanking seolah lenyap. Pemerintahan Cina berikutnya di bawah rezim komunis, sama sekali tidak menggubris sejarah kelam itu. Dalam bukunya The Rape of Nanking, The Forgotten Holocaust of World War II, Irish Chang juga mengaku sulit menemui data pustaka yang akurat.
Referensi terkemuka mengenai sejarah Perang Pasifik seperti The American Heritage of World War II (1966) atau Memoirs of The Second World War (1959) koleksi Winston Churchil, sama sekali tak menyinggung Nanking. Dalam pelajaran sejarah di Jepang, Nanking hanyalah catatan kaki belaka, dan referensi tentang “wanita penghibur” di masa perang Indocina. Bahkan Profesor Nobukatsu Fujioka di Universitas Tokyo menyatakan tragedi Nanking rekayasa pemerintah Cina belaka.
Setelah 77 tahun berlalu, untuk pertama kali pada 13 Desember 2014, Pemerintah Cina memperingati tragedi Nanking. “Tak seorang pun dapat membantah peristiwa ini,” kata Presiden Cina, Xi Jinping yang hadir dalam peringatan pembantaian massal itu. Sekitar 3000 ekor merpati dilepas ke udara menyiratkan perdamaian. Apakah Jinping mulai bijak bercermin dengan tragedi masa lalu di Nanking agar tak lagi mengulang sejarah yang sama terhadap suku Uighur?
(Irsyad Muchtar)