Pada 7 Februari 1986, di tengah intrik politik panas dan menajam, Ferdinand Marcos kembali terpilih untuk keempat kalinya sebagai Presiden Filipina. Komisi Pemilihan Nasional (Commission on Elections) mengumumkan kemenangan diktator besar itu dengan suara signifikan, mengalahkan lawan politiknya dari partai oposisi Corazon Cory Aquino.
Namun petahana yang telah menguasai Filipina sepanjang 21 tahun itu tak serta merta langsung menepuk dada, publik menolak kemenangan yang ditengarai sarat kecurangan. Kecaman keras datang dari Konferensi Uskup Katolik Filipina bahkan Amerika Serikat, ‘sang pelindung’ Marcos pun menyatakan resolusi yang sama.
Maka, ketidakpuasan dan ketakutan yang bertahun-tahun menghantui rakyat Filipina hari itu pupus. Jutaan orang turun ke jalan menggelar demonstrasi damai yang dikenal dengan people power. Tumpah ruah di Epifanio de los Santos Avenue, sebuah jalan di Metro Manila. Pox Populi Vox Dei.
Dua pekan berselang, aksi massa nan heroik selama 4 hari itu berhasil memaksa Marcos mundur dari jabatannya. Pada malam 25 Februari, Amerika menyelundupkan presiden terguling ini beserta keluarga, kerabat dan puluhan pengikutnya kabur ke Hawaii.
Mereka memboyong 24 koper berisi uang tunai, barang-barang berharga, busana mewah, dokumen dan deposito bernilai jutaan dolar. Hingga kematiannya pada 1989, Marcos bersama istrinya, Imelda, ditaksir menjarah uang rakyat Filipina sekitar 10 miliar dollar AS.
Dua dekade menjabat presiden Filipina, Marcos menjelma bagai ‘machiavellian’ yang menghalalkan berbagai cara licik agar tetap berkuasa. Untuk memberangus para penentangnya, ia bisa bertindak brutal.
Seperti dilakukannya ketika merekayasa status darurat militer pada 21 September 1972 dengan dalih untuk mengamankan kerusuhan dan pemberontakan di dalam negeri.
Di balik itu, yang ingin ia lakukan adalah menciptakan pemerintahan teror yang dengan seenaknya bisa melakukan penculikan, penyiksaan, memberangus lawan-lawan politik dan pembunuhan tanpa proses pengadilan.
Dua hari berselang, pada 23 September tentara menutup kantor media di seluruh Filipina, sejumlah wartawan ditangkap dan ditahan bersama anggota oposisi politik. Marcos mengambil alih surat kabar, majalah, fasilitas radio dan televisi yang tidak sejalan dengan kebijakan rezim.
Di rentang sembilan tahun, ketika status darurat militer diakhiri, Amnesty International menginventarisir sekitar 70.000 orang dipenjara, 35.000 orang disiksa, 3.257 pembunuhan di luar proses hukum dan 77 orang hilang.
Kekuasaan yang panjang dan dibangun dengan ambisi pribadi alih-alih pro rakyat memang melenakan. Dan di hilirnya menyuburkan tindakan koruptif, kolutif dan nepotism.
Ia membenarkan tesis John Acton bahwa kekuasaan memang cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung juga korup secara absolut (power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely).
Saat petama kali dipilih pada 1965, Marcos sudah memimpin sebuah negeri dengan pertumbuhan produk domestik bruto 5,15% warisan Diosdado Pangan Macapagal, Presiden ke 9 Filipina yang dikenal sebagai orang jujur, “The Incorruptable”.
Namun berakhir dengan hilangnya mata pencaharian, kemiskinan ekstrem bagi hampir separuh penduduk Filipina, dan krisis utang yang parah akibat pembangunan infrastruktur. Defisit anggaran mencapai 72% di tengah selera belanja barang mewah ibu negara yang kondang dengan koleksi 3.000 pasang sepatu branded.
Kini, setelah 38 tahun berlalu, tragedi kelam itu agaknya mulai pudar dari ingatan rakyat Filipina. Tampilnya kembali dinasti Marcos di kursi kekuasaan tertinggi mengingatkan kita pada celoteh novelis Prancis, Milan Kundera dalam bukunya, The Book of Laughter and Forgetting; perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. []