Majalah Peluang Edisi 170 terbit pada 9 Mei 2024 hadir dengan catatan editorial bertajuk Berjuta Pangan. Berbeda dari edisi sebelumnya, kali ini Majalah Peluang membahas tentang 100 Tokoh Koperasi yang tersebar dari seluruh Indonesia.

[njwa_button id=”86262″]
Catatan Editorial: Berjuta Pangan
Satu. Sebagai bagian dari ambisi Soeharto mencapai kembali posisi swasembada beras (1984), diluncurkan Proyek Lahan Gambut/PLG Sejuta Hektare di Kalteng, 5 Juni 1995.
Tujuh menteri beserta timnya dipanggil ke Bina Graha. Soeharto berfantasi, Kalteng menjadi jalan penyelamat Indonesia, via area sawah baru yang mampu menghasilkan 5,1 juta ton/tahun.
Proyek ini aslinya bukan ide Soeharto. Melainkan Tay Juhana alias “Mr. T“, pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang bermarkas di Singapura. Lewat Grup Sambu, “Mr. T” mengaku pernah sukses membuat perkebunan sawit seluas 60 ribu ha di atas lahan gambut di Sungai Guntung, Riau.
Dimulailah mengolah lahan gambut seluas 1,45 juta ha (60% lahan gambut, sisanya tanah alluvial). Proyek start 23 Januari 1996. Tanpa studi kelayakan mendalam; tanpa adanya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Apa lacur, lahan gambut tak cocok untuk tanaman padi. Sekitar separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang semula ditempatkan di situ hengkang. Klimaksnya, PLG dibatalkan Presiden BJ Habibie, 1999.
DUA. Seperempat abad kemudian, muncul mimpi serupa. Dengan label food estate (baca: tanam singkong), lahan seluas 2.310.457 ha coba diproduktifkan pemerintahan Joko Widodo. Seluas 743.793 ha berada di wilayah bekas PLG. Outputnya idem: gagal total.
Menurut Prof Dwi Andreas Santosa, tak satu pun pembangunan food estate yang berhasil. “Tapi supaya seakan-akan berhasil, ditanam jagung pake polybag. Saya juga bisa tanam padi di jalan tol,” ujarnya.
Food estate itu konsep pertanian berskala di atas 25 ha yang berintegrasi dengan iptek, modal, serta organisasi dan manajemen modern. Tapi, program ini juga berpotensi merusak lahan di masa depan akibat pembukaan lahan hutan konservasi dan gambut secara ugal-ugalan.
Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras. Beras adalah makanan pokok paling penting. Beras juga sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin. Gangguan pada ketahanan seperti kenaikan harga beras terbukti dapat memicu kerawanan sosial, seperti petaka 1998.
Permasalahan lainnya adalah pendistribusian antardaerah/antarpulau. Lalu, dari sisi tata niaga, sudah menjadi rahasia umum akan panjangnya rantai pasokan yang berakibat jomplangnya harga tingkat produsen dan konsumen dengan penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli).
Baca: Menolong Diri Sendiri Secara Bersama-sama, Cara Koperasi
TIGA. Ketergantungan pada impor pangan senilai Rp160 trilun (kurs Rp16 ribu) diatasi dengan mengundang investasi Cina di pertanian. Sejuta hektare disiapkan. Oktober 2024, kata Menko Luhut, proyek ini akan berjalan.
Kaum intelektual dan pencinta Tanah Air meradang. Indonesia tak butuh (migrasi) Cina, tapi Reforma Agraria: pembagian lahan untuk 14,6 juta petani gurem yang garapannya di bawah 0,5 ha. Mengundang investasi asing di pertanian berpotensi jadi penyerahan lahan-lahan luas kepada petani asing, seperti terjadi di pertambangan.