MASIH ingat bunyi iklan rokok yang impresif itu. Tua itu pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan. Jika Anda sering menonton debat (kusir) politik di layar televisi, kita jadi mafhum mengapa para tokoh yang mengklaim diri wakil rakyat saling caci maki dengan lawan bicaranya. Melalui layar kaca televisi yang ditonton jutaan pasang mata itu, para politisi menunjukkan kusanya sebagai pihak yang (merasa) paling benar. Nyaris tak kita lihat sebuah keteladanan bahwa mengalah untuk menang atau diam adalah emas.
Lalu, apa yang bisa dibanggakan dengan menjadi tua? Kita menemukan jawab dalam drama tragis King Lear karya William Shakespeare di awal abad XVII. Lear, sang raja Britania yang terbuang itu adalah potret dari penguasa tua yang tidak tahu diri. Ia anti kritik dan tega membungkam pihak bersebrangan dengan berbagai cara.
Ketika usia tua menggerogoti, Lear tak punya pilihan. Ia terpaksa menyerahkan kekuasaan kepada dua putrinya, Goneril dan Regan. Konyolnya pak tua ini masih tetap ingin diperlakukan seperti raja, sehingga sang penguasa baru menendangnya seperti anjing. Lear pun hidup terlunta-lunta di jalanan.
Shakespeare seolah mendahului zamannya ketika di masa kini kita melihat begitu banyak titisan King Lear bangkit di kancah politik. Dengan istilah keren, para tetua yang sudah mendekati ‘bau tanah’ itu menyebut diri sebagai abdi bangsa yang merasa terpanggil turun gunung untuk membenahi negeri yang telah salah urus.
Lalu bagaimana dengan kaum muda milineal berpikiran maju, tidakkah mereka terpanggil membenahi negeri? Lewat Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum kita temukan pelajaran berharga. Sebagai putra mahkota kerajaan Dubai berpendidikan Barat, ditambah kekayaan minyak bumi berlimpah, ia bisa menikmati hidup mewah tanpa harus kerutkan dahi untuk masa depan rakyatnya. Tetapi, Al Maktoum justru ingin menjadi bagian dari pelaku sejarah di Timur Tengah. Ia sampingkan pertikaian politik, sebab Dubai hanya akan eksis jika fokus pada pembangunan ekonomi. Hasilnya, Dubai, padang pasir tandus itu kini di kenal sebagai Hongkong of The Middle East.
Seperti ditulis Rhenald Kasali dalam Re-Code Your Change DNA, Al Maktoum berhasil melakukan transformasi pemerintahan menuju korporatisme. Ia mengubah birokrasi korup dan lamban menjadi korporasi sehat, responsif dan modern.
Sebuah negeri yang maju memang ditentukan oleh kualitas kepemimpinan teruji dan visioner, seperti halnya Maktoum. Singapura atau Jepang yang miskin sumber daya alam, jadi makmur karena kualitas kepemimpinannya. Lee Kuan Yew menerapkan regulasi ketat dan birokrasi anti pungli. Sementara kemakmuran Jepang ditopang oleh etos kerja dan disiplin tinggi. Di Venezuela kondisi malah ironis. Negeri dengan sumber minyak terbesar di dunia dan diramal baru akan habis 100 tahun lagi, tiba-tiba bangkrut akibat hiperinflasi. Jika di Indonesia nilai tukar 1 dolar AS setara Rp15.000, di Venezuela setara 6,3 juta Bolivar.
Sepeninggal Hugo Chavez, perekonomian Venezuela memang sudah salah urus, terutama dengan pemberian subsidi besar-besaran kepada rakyat, tapi abai menyiapkan sumber daya terampil. Ketika harga minyak dunia yang jadi tumpuan ekonomi jatuh, kebangkrutan tak terhindarkan, proyeksi inflasi menurut data IMF mencapai 1.000.000 persen tahun ini.
Krisis Venezuela jadi pelajaran mahal bagi Indonesia yang hingga kini masih membanggakan keunggulan sumber daya alam melimpah. Ironisnya, dengan lautan dan pantai maha luas itu kita masih impor ikan dan garam. Dengan lahan pertanian yang tak terbilang itu kita justru gemar mengimpor aneka produk pertanian, mulai dari beras, kedelai,singkong dan kini jagung. Semoga kita tidak sedang memasuki zaman, yang kata Ronggowarsito disebut Kalatida. Zaman ketika akal sehat diremehkan, perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil tidak digubris. (Irsyad Muchtar)