hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Korporasi Besar Dapat Insentif, Rakyat Pikul Kenaikan PPN

Rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% disorot ekonom. Kenaikan itu hanya menyengsarakan rakyat banyak, tapi tidak menambah penerimaan negara secara signifikan.

Kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang kerap memberi keringanan pajak kepada pengusaha, tetapi di sisi lain membebani rakyat kecil dengan kenaikan tarif pajak, disorot ekonom secara serius. Alih-alih membesarkan pundi-pundi negara, rencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 2025 hanya akan menambah beban rakyat kecil.

Di sisi lain, “Insentif diberikan kepada korporasi yang besar sementara rakyat dibebani terus. Hampir pasti kelihatannya PPN akan naik (jadi) 12 persen,” kata ekonom senior Indef, Faisal Basri, dalam Diskusi Publik Idef “Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa”, Senin (19/8). Faisal menyebut, jika PPN dinaikkan menjadi 12 persen, pendapatan negara paling hanya bertambah kurang dari Rp100 triliun.

Padahal, jika dibandingkan dengan kenaikan pajak ekspor komoditas batu bara, dalam hitungan Faisal, pendapatan negara bisa bertambah Rp 200 triliun. “Lagi-lagi kan yang dirugikan (rakyat) yang kecil. Ini yang moral sentimennya jauh dari yang kita lihat di era Jokowi ini,” katanya.

Adapun kebijakan menaikkan tarif PPN secara bertahap menjadi 12% pada 2025 memang sudah diatur rezim Jokowi lewat UU HPP atau Omnibus Law Perpajakan, yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025

Ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan betapa tidak masuk akalnya rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%. Kenaikan tersebut katanya hanya menyengsarakan rakyat, namun tidak signifikan menambah penerimaan negara. Bahkan, rencana kenaikan PPN menjadi 12% juga tidak adil. Sebab, pemerintah masih jor-joran memberikan banyak insentif fiskal kepada korporasi besar.

“Insentif diberikan kepada korporasi yang besar, sementara rakyat dibebani terus.”

Jika dihitung cermat, tambahan pennerimaan negara yang bisa didapat tidak lebih dari Rp100 triliun. Pemerintah sebenarnya bisa memperoleh penerimaan yang jauh lebih besar ketika menerapkan pajak ekspor batu bara. Hasilnya diperkirakan bisa mencapai Rp200 triliun. Namun, memang pada dasarnya pemerintah tak mau melakukannya, sehingga memilih menekan rakyat kecil. Lagi-lagi ini kan yang dirugikan masyarakat kecil,” kata dia.

Rencana kenaikan PPN menjadi 12% tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU tersebut memberi mandat kepada pemerintah untuk menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% pada awal 2025. Menkeu Sri Mulyani mengatakan sejumlah barang dan jasa tidak akan terkena kebijakan PPN ini. Di antaranya untuk sektor barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Dikatakan, pengecualian itu sebagai bentuk proteksi untuk masyarakat.

Sejalan dengan Indef, peneliti senior dari kubu CSIS, Deni Friawan, juga mengkritik rencana pemerintah menerapkan PPN 12%. Menurut dia, PPN 12% bakal menghimpit rakyat kecil. Padahal, ada cara yang lebih baik untuk menaikan rasio perpajakan, yakni mengevaluasi pemberian insentif fiskal kepada industri pertambangan. “Pemberian insentif fiskal, misalnya dalam kasus hilirisasi, kita memberikan banyak insentif bagi perusahaan asing yang bergerak di sektor smelter,” kata Deni.

Bagi Deni, pemberian insentif fiskal itu tidak sepadan dengan manfaat yang diterima oleh pemerintah. Buktinya, pemberian insentif kepada perusahaan-perusahaan itu tidak mampu mendorong ekonomi Indonesia tumbuh lebih dari 5%.

“Itu bertolak belakang dengan apa yang disampaikan pemerintah bahwa ya pertumbuhannya tinggi, ekspornya tinggi, tapi pertumbuhan ekonominya tidak tinggi-tinggi banget,” ujarnya. “Artinya, review terhadap insentif fiskal harus juga dilakukan.”●(Zian)

pasang iklan di sini