hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Koperasi yang Sehat Tidak Alergi Diawasi

MASIH ingat Koperasi Konsumen Langit Biru, Tangerang (2012)? Koperasi Karyawan Cipaganti, Bandung (2014)? atau yang teranyar Koperasi Simpan Pinjam Pandawa, Depok (2017)? Tiga koperasi yang sempat bikin heboh masyarakat karena gagal mengembalikan dana anggota/nasabah. Bak kata pepatah ”Karena nila setitik, rusa susu sebelanga,” imbasnya memukul kinerja perkoperasian secara nasional.

Sejumlah KSP mengalami rush karena masyarakat khawatir dana mereka menguap begitu saja. Sebuah KSP terbilang besar di Jawa Barat mengaku kantornya sempat diantre anggota. “Hari itu penarikan dana mencapai Rp5 miliar, ini sudah gak benar. Bank pemerintah pun bisa kolaps kalau diserbu seperti ini,” kata sang ketua pengurus koperasi. Untungnya mereka punya dana cash.

Lantaran cukup banyak KSP yang mengalami gagal bayar, sejumlah bank di Jawa Tengah menghindar memberikan kredit. “Sejak tahun 2018, penyaluran dana kami sebesar Rp400 miliaran murni dari usaha anggota. Kondisi ini jadi pemicu semangat kami untuk meningkatkan layanan guna menarik partisipasi anggota,” kata Ketua KSP Utama Karya Jepara, Syamsuri, saat menggelar RAT beberapa waktu lalu.

Mengapa kinerja kebanyakan KSP tidak meyakinkan? Kasus raibnya dana ribuan anggota senilai Rp150 miliar, dikemplang oleh 12 KSP di Bali, kian menyadarkan bahwa selama ini ada yang luput dari pembinaan koperasi, yaitu lembaga pengawasan. Padahal, sejak awal republik ini berdiri, perhatian terhadap koperasi cukup serius; ditandai dengan lahirnya empat Undang-undang.

Namun, pergerakan koperasi tetap lamban dan masih sangat jauh dari mimpi soko guru ekonomi itu. Deputi Bidang Pengawasan Kemenkop UKM Suparno menduga kelambanan itu karena implementasi dari berbagai perangkat peraturan perundang-undangan dan kebijakan turunan yang menyertainya belum dilaksanakan secara optimal. Menurut Suparno, kondisi perkoperasian nasional yang ada hingga saat ini belum ideal sebagai sokoguru perekonomian.

Dalam perspektif pengawasan koperasi, keterbatasan jumlah dan kapasitas SDM merupakan tantangan terbesar.Akibatnya, mencapai standar kompetensi yang merupakan syarat bagi seorang pengawas. “Saya berharap, dari pembentukan Jabatan Fungsional Pengawas Koperasi (JFPK) ini dapat ditingkatkan profesionalisme, kinerja dan karier Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam melaksanakan tugas di bidang pengawasan koperasi,” ujarnya.

Pejabat pengawas koperasi, menurut Suparno, tidak hanya sekadar bisa menemukan kesalahan atau pelanggaran (watch dog). Mereka juga harus mampu memberi solusi dan alternatif penyelesaian masalah, sesuai ketentuan yang berlaku. Menanggapi perkembangan dan temuan teknologi terkini yang begitu cepat, Suparno berpendapat perkembangan teknologi memang bagian yang tidak mungkin diabaikan. Sejalan dengan itu, juga tidak alasan mengesampingkan kisi-kisi yang digariskan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Oleh karena itu, menjadi penting menghasilkan regulasi-regulasi yang sejalan dengan dan mengakomodir perkembangan dunia informasi teknologi  yang sedemikian dinamis (up to date). “Semakin maju teknologi berkembang tentu akan kita imbangi dengan peningkatan skill dan knowledge petugas koperasi. Pengawasan akan terus kita galakkan sejalan dengan tuntutan reformasi koperasi. Dan koperasi yang sehat tentu tidak akan alergi dengan adanya pengawasan,” tandas Suparno.●

pasang iklan di sini