
Oleh Irsyad Muchtar
PeluangNews, Jakarta-“You are a toy,” hardik Sheriff Woody untuk menyadarkan Buzz Lightyear, bahwa ia tak lebih dari sekadar boneka plastik belaka, mainan anak-anak.
“Kamu produk mana Buzz, Singapura atau Hongkong?” Buzz meradang, ia tetap ngotot sebagai space ranger, tentara ruang angkasa yang kebetulan terdampar di tengah komunitas para boneka. Ia tak pernah menyangka bahwa pada akhirnya ternyata ia hanya sebuah boneka.
Potongan dialog dalam film Toy Story tahun 1995 itu jadi menarik, lantaran adanya penolakan jati diri sebagai boneka di tengah komunitas para boneka. Memang hanya sekadar kartun. Tapi film produksi Pixar Animation Studios ini sukses merebut pasar, hingga 2019 atau dalam rentang 24 tahun sejak pertama diproduksi,
Toy Story memasuki sekuel ke empat dengan penjualan lebih dari satu miliar dollar AS. Disney mengumumkan sekuel ke 5 waralaba laris itu bakal rilis pada 19 Juni 2026.
Kisah tentang para boneka yang bisa hidup ketika manusia tidak melihatnya memang tak sekadar komedi. Ia parodi dengan kenaifan Buzz Lightyear yang tidak menyadari jati diri kebonekaannya.
John Lasseter sutradara film ini berhasil mengangkat tema kartun menjadi dramatis. Buzz yang keras hati dihadapkan pada realita, bahwa ia hanyalah sebuah produk massal yang kembarannya banyak dijual di toko mainan dan super market. Ada masygul di wajahnya. ia bukanlah seperti yang selama ini ia anggap hebat. Dan Woody Sheriff, sang cowboy tokoh utama Toy Story menghiburnya bahwa menjadi boneka jauh lebih baik ketimbang hidup mengkhayal sebagai satria super antargalaxy.
Woody mungkin benar, di tahun 1605 Miguel de Cervantes di Spanyol menghidupkan tokoh penghayal berat, Don Quixote. Lantaran terlalu banyak membaca buku-buku kepahlawanan, Don Quixote mengalami delusi, ia lah sesungguhnya pahlawan dimaksud.
Bak seorang politisi yang bakal yakin memasuki kursi parlemen, Don menjual semua harta termasuk rumahnya untuk bertualang memerangi kejahatan. Dalam angannya, satria dari La Mancha itu menunggangi seekor kuda gagah, berbaju zirah dan tombak terhunus, menggempur raksasa dan membunuh naga, tetapi publik dengan rasa iba hanya melihat seorang pria paruh baya, memakai perkakas dapur rombengan, menunggangi seekor keledai kurus tengah menyerang kincir angin.
Selewat empat abad, satir romansa Don Quixote masih tetap enak dibaca. Novel yang menandai salah satu era keemasan kesusasteraan Spanyol ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Konon, Indonesia adalah negara ke 146 yang menerjemahkan novel utuh setebal lebih dari 1000 halaman ini ke dalam bahasa Indonesia.
Pesona Quixote tak cuma sekadar lucu bahkan tak jarang slapstick, ia menertawai keseharian manusia yang acapkali bertindak di luar nalar dan kemampuan.
Dua abad sebelum Don Quixote ditulis, kita mengenal tokoh satir Nasrudin Hoja (1372-1432). Cerita tentangnya ditemukan pada abad 15 dalam manuskirp Ebu ‘l-Khayr-i Rumis Saltuk-name (1480 M). Sufi yang hidup di masa dinasti Seljuk, Turki, ini dikenal karena anekdotnya yang menyerempet kekuasaan. Di ribuan kisah satirnya saya kutipkan satu cerita di masa pendudukan Timur Lenk (1335-1405). Suatu ketika, penakluk berdarah Mongol-Turki itu menghadiahkan seekor keledai kepada Nasrudin Hoja.
“Ajari keledai ini membaca, dan dalam dua pekan ke depan datanglah ke sini kita lihat bagaimana cara keledai mu membaca.” Timur memang sengaja ingin menjebak sufi cerdik itu dengan permintaan tak masuk akal agar dapat dipermalukan. Dengan kalem dan tanpa gamang sedetikpun, Nasrudin memenuhi permintaan tersebut
Dan dua pekan berikutnya ia bersama keledainya kembali ke istana menghadap Timur Lenk. Sebuah buku besar sudah disiapkan untuk keledai membaca. Nasrudin menuntun keledainya menuju buku tersebut, lalu membuka halaman pertama. Keledai mulai mengamati bait perbait dari isi buku itu, usai melihat isinya, ia pun membalik halaman berikutnya dengan lidahnya. Dan begitu selanjutnya hingga sampai halaman terakhir, dan si Keledai menatap Nasrudin Hoja.
“Demikianlah tuan, keledaiku sudah selesai membaca,” lapornya kepada Timur Lenk
“Bagaimana caramu mengajari dia membaca?” Timur Lenk menelisik. Jawab Nasrudin, sesampainya di rumah, ia menyiapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan pada setiap lembaran ia sisipkan biji-biji gandum di dalamnya sehingga keledai harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa makan biji-biji gandum itu, akhirnya ia terlatih untuk membalik-balik halaman buku dengan benar.
“Bukankah keledai itu tidak mengerti apa yang dibacanya?” sergah Timur Lenk tidak puas.
Enteng saja Nasruddin menjawab, memang begitulah cara keledai membaca; hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya.
Penulis adalah wartawan senior tinggal di Jakarta