Hendri Tanjung, Ph.D
Ada yang menarik pada ujian terbuka promosi doktor ekonomi Islam atas nama promovenda, Dwi Sri Dani Afriza pada tanggal 27 Agustus 2018 Universitas Trisakti. Dalam disertasinya berjudul “Pengaruh Pengembangan Ekonomi untuk Mencapai Kebahagiaan dalam Perspektif Islam” promovenda menemukan bahwa Gross Domestik Product (GDP) tidak berpengaruh terhadap Kebahagiaan. Artinya, GDP bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan masyarakat. Kecil dan besarnya GDP bukan jadi soal. Tentunya ini akan membongkar pemikiran selama ini, khususnya di kalangan ekonomi konvensional bahwa GDP merupakan faktor utama untuk membahagiakan masyarakat. Pengambil kebijakan (pemerintah) berusaha meningkatkan GDP sekuat tenaga. Semakin tinggi GDP berarti semakin sukses suatu pemerintahan. Setidaknya itulah pemikiran ekonomi yang sudah tertanam beratus ratus tahun di kalangan para ekonom dan policy maker.
Ekonomi Neoliberal sangat mengagung-agungkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ini diukur dengan pertumbuhan GDP. Sederhananya pertumbuhan ekonomi tahun ini adalah GDP tahun ini dikurangi dengan GDP tahun lalu, dibagi dengan GDP tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi ini diukur dengan persen. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka semakin sejahtera suatu masyarakat.
Pertanyaan kemudian, apakah kesejehteraan akan membuat kebahagiaan? Prihananto Sulistyowarno menjawabnya dengan sederhana, TIDAK. Dalam artikelnya di Jakarta Post 25 Agustus 2018 berjudul “Income inequality contributes to happiness” Sulistyowarno berargumen bahwa kesejahteraan bukan berarti kebahagiaan, karena masyarakat yang kurang sejahtera juga ternyata bisa bahagia. Dicontohkan negara Bhutan yang pada tahun 2006 dianugerahi “Happiest Country in Asia” oleh Business Week. Padahal negara Bhutan tidak lebih sejahtera daripada negara tetangganya seperti India dan Jepang. Lantas, kalau begitu, apa yang membuat masyarakat bahagia? Jawabnya adalah : rendahnya Income inequality. Melalui analisis data survei tahun 2013, ada korelasi yang kuat antara koefisien Gini dengan indeks kebahagiaan. Lima negara paling bahagia di dunia (Denmark, Norwegia, Switzerland, Netherlands dan Swedia) memiliki inequality index yang rendah. Sedangkan lima negara paling tidak bahagia memiliki inequality indeks yang tinggi. Sedangkan untuk Indonesia, provinsi yang paling bahagia tahun 2017, Maluku Utara dan runner up nya, Maluku, memiliki inequality index yang rendah dibandingkan provinsi yang paling tidak bahagia, yaitu: Papua dan Sumatera Utara.
Inequality
Apa sebenarnya inequality itu? Secara singkat, inequality adalah kesenjangan pendapatan dan kekayaan atau gap antara si kaya dengan si miskin dalam suatu masyarakat. Kesenjangan ini diukur dengan koefisien Gini. Nilai koefisien Gini berada antara nol dan satu. Semakin mendekati nol, maka kesenjangan semakin rendah, sebaliknya, semakin mendekati satu, maka kesenjangan semakin tinggi. Koefisien Gini adalah ukuran yang dikembangkan ahli statistika Berkebangsaan Italia bernama Corrado Gini, yang dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya ‘Variabilita e mutabilita’.
Angka koefisien Gini yang baik adalah yang rendah, misalnya pada tahun 2013 Denmark yang memiliki koefisien Gini sebesar 0,285, Indonesia 0,395 dan Brazil 0,526 (World Development Indicators 2018). Artinya, pemerataan pendapatan dan kekayaan rakyat Denmark lebih baik daripada Indonesia, dan Brazil lebih buruk daripada Indonesia.
Dalam bukunya berjudul “The Price of inequality”, tahun 2012, Stiglitz, pemenang hadiah nobel ekonomi tahun 2001 menjelaskan bahwa kesenjangan pendapatan dan kekayaan membahayakan masa depan ekonomi Amerika. Argumennya, bahwa kesenjangan itu terjadi akibat kekuatan politik yang mengendalikan aktivitas legislatif dan regulator. Lebih jauh, Stiglitz menulis “politics have shaped the market and shaped it in ways that advantage the top at the expense of the rest”. Kebijakan Amerika lewat pasar bebasnya pun dikritik. Dengan pasar bebas seperti itu, terjadi penumpukan harta kekayaan di segelintir orang saja. Akibatnya, kesenjangan pendapatan dan kekayaan semakin besar. Stiglitz menyatakan bahwa pemerintah harus turun tangan membuat regulasi yang dapat mencegah penumpukan kekayaan di tangan orang tertentu saja yang punya kapital (kapitalis).
Islam dan Penumpukan Harta
Al-Qur’an surat Al Hasyr ayat 7 secara tegas menyatakan “…agar harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu…”. ayat ini sangat menekankan agar terjadi pemerataan ekonomi. Kesenjangan ekonomi yang terjadi tidak boleh tinggi. Pemerintah harus membuat regulasi yang mendukung pemerataan ekonomi. Untuk itu, ada beberapa usulan regulasi yang ditawarkan:
Pertama, regulasi untuk mengembangkan lembaga atau institusi yang bernama koperasi masyarakat. Koperasi yang memiliki jargon dari anggota oleh anggota dan untuk anggota, akan memberikan keuntungan yang maksimal kepada anggota. Jika anggotanya masyarakat, maka koperasi masyarakat akan memberikan keuntungan yang maksimal kepada masyarakat. Kementerian yang bertugas mengembangkan koperasi ini adalah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).
Kedua, regulasi mengembangkan zakat, infaq dan sedekah. Zakat sifatnya wajib. Kewajiban membayar zakat sama dengan kewajiban menunaikan sholat. Zakat harus dihabiskan untuk kegiatan usaha produktif khususnya modal kerja, agar yang tadinya mustahik, bisa menjadi muzakki dimasa yang akan datang. Sementara itu, infaq dan sedekah ditujukan untuk kegiatan konsumtif. Mereka yang kelaparan dapat diberikan dana infaq dan sedekah ini yang memang harus habis. Otoritas yang mengatur dunia perzakatan adalah BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Rofiq Lubis (2018) mengatakan bahwa zakat dapat dijadikan manajemen ekonomi bangsa karena zakat dapat : (1) menentukan standar kemiskinan, (2) menentukan Upah Minimum Regional (UMR), (3) menentukan standar pendapatan pengelola (amil), (4) digunakan sebagai jaring pengaman sosial, (5) Membantu Usaha Mikro, dan (6) membentuk keluarga mandiri.
Ketiga, regulasi mengembangkan waqaf produktif. Harta waqaf tidak boleh berkurang, tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan. Jika sawah yang diwaqafkan, maka selamanya akan tetap sawah, tidak dapat beralih fungsi menjadi perumahan atau pabrik. Oleh karena itu, instrumen waqaf paling tepat untuk infrastruktur. Dengan infrastruktur yang baik, maka ongkos ekonomi akan lebih murah, akhirnya akan menciptakan efisiensi produksi dan berujung pada penciptaan harga yang kompetitif. Otoritas yang mengatur perwakafan adalah BWI (Badan Wakaf Indonesia).
Pemerataan dan Kebahagiaan
Untuk meningkatkan pemerataan dan mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan pada tingkat individu, kelompok (masyarakat) dan tingkat negara untuk mencapai kebahagiaan.
Pada tingkat individu, hendaknya kebiasaan memberi mesti dipromosikan, baik berupa membayar zakat, infaq, sedekah dan waqaf. Gabrielle Berstein menulis “I Learned that real happiness does’nt come from getting but from giving”.
Pada tingkat kelompok (masyarakat), dapat dibentuk suatu lembaga yang berfungsi memeratakan ekonomi, yang bentuknya bisa koperasi. Salah satu koperasi yang gigih memperjuangkan pemerataan ekonomi adalah koperasi syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI). Lewat 5 pilarnya, yaitu: ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan spiritual, kopsyah BMI membuat 5 instrumen: sedekah, pinjaman, pembiayaan, simpanan dan investasi. Melalui 5 pilar ini, kopsyah BMI menjadi koperasi pertama di Indonesia yang mengembangkan sistem operasional usaha dengan 5 instrumen melalui pengembangan budaya menabung dan pemberdayaan zakat, infaq, sedekah dan waqaf. Harapannya, melalui 5 pilar ini, tercapai kebahagiaan anggota masyarakat yang ditandai dengan kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akherat. Hal inilah yang menjadi impian setiap manusia, sebagaimana Al-Qur’an menceritakan dalam surat Al Baqarah ayat 201 yang artinya “ …,”Ya Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka”.
Pada tingkat negara, pemerintah dapat mengurangi kesenjangan ini dengan program-program makroekonominya, seperti mengontrol pasar bebas, menciptakan lapangan kerja, menjaga inflasi, menjaga kestabilan mata uang, serta membuat regulasi kementerian/lembaga terkait yang dapat mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Wallahu a’lam.
Penulis adalah Doktor ekonomi Islam lulusan Internasional Islamic University, Islamabad, wakil direktur sekolah pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan Ketua Dewan Pengawas Syariah koperasi syariah Benteng Mikro Indonesia.