
Peluang News, Jakarta – Kenaikan harga pangan yang melonjak tinggi saat ini, terutama beras di Indonesia merupakan hal yang mencemaskan. Memang, pada 2023, inflasi Indonesia rendah, hanya 2,31%, terendah dalam 23 tahun terakhir. Namun inflasi pangan 2023 mencapai 6,73%, hampir 3 kali lipat lebih tinggi.
“Dengan tren harga pangan yang masih tinggi jelang Ramadan, dimana kebutuhan pangan umumnya melonjak, ini tentu harus sangat diwaspadai,” ungkap Direktur IDEAS (Institute For Demographic and Poverty Studies) Yusuf Wibisono, dalam keterangannya, Minggu (25/2/2024).
Kenaikan permintaan pangan, yang umumnya diikuti kenaikan harga-harga pangan, mulai terjadi sepekan sebelum Ramadan. “Khusus untuk beras, menurut saya, terus melonjaknya harga beras saat ini terjadi karena beberapa faktor,” kata Yusuf.
Pertama, El-Nino. Ini tidak bisa dibantah, kekeringan karena El-Nino telah mengganggu produksi beras itu benar. Namun, menurut Yusuf hal ini terlalu dibesar-besarkan, sehingga El-Nino seolah dianggap faktor tunggal tingginya harga beras saat ini.
Terdapat tendensi dari banyak pejabat pemerintah untuk menganggap wajar tingginya harga beras saat ini. Termasuk lonjakan impor beras sepanjang 2023 yang hingga 3 juta ton dengan alasan faktor El-Nino.
“Benar bahwa produksi beras 2023 jatuh akibat El-Nino. Namun meng-kambing hitam-kan El-Nino semata, untuk tingginya harga beras dan masifnya impor beras hingga 3 juta ton, adalah sebuah sesat fikir,” ujar Yusuf.
El-Nino merupakan fenomena alam yang sudah terprediksi sejak lama. Dengan demikian, pemerintah seharusnya sudah memitigasi dan tidak ada alasan untuk menuding El-Nino sebagai krisis beras saat ini.
“Sebagai contoh Thailand misalnya, terkena El-Nino yang sama seperti Indonesia. Namun dia masih mampu ekspor beras,” ungkap Yusuf.
Faktor kedua yang jarang disorot dari krisis beras saat ini adalah kurangnya pasokan dan ketersediaan pupuk bagi petani. Faktor kelangkaan pupuk berkontribusi besar bagi jatuhnya produktivitas lahan sawah.
Anggaran subsidi pupuk terus turun dalam 5 tahun terakhir, dari Rp33,6 triliun pada 2018 menjadi Rp 25,3 triliun pada 2023.
“Kebijakan panik Presiden yang berjanji menambah anggaran subsidi pupuk 2024 dari Rp26,7 triliun dengan tambahan alokasi hingga Rp 14 triliun, tidak banyak membantu situasi, pupuk masih langka di petani,” kata Yusuf.
Ketiga, kombinasi dari kebijakan bansos bantuan pangan beras dan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras.
Masalah Struktural
Bansos bantuan pangan beras di sepanjang 2023 telah menguras cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog hingga 1,4 juta ton. Kebijakan bantuan pangan beras ini dilanjutkan pada Januari – Maret 2024.
“Masifnya penggunaan CBP telah menurunkan kemampuan Bulog untuk mengintervensi pasar, sehingga gagal menjaga harga sesuai HET,” kata Yusuf.
Ketika harga melambung melampaui HET, pemerintah bertahan tidak mau mengubah HET, akibatnya ritel beras terutama ritel modern, enggan menjual beras yang dipatok harus sesuai HET.
Kelangkaan beras di pasar modern semakin memperburuk situasi pasar dan akan berpotensi memicu panic buying jika kelangkaan berlanjut.
Faktor terakhir, yang jarang disebut, terlebih oleh pemerintah adalah faktor paling fundamental menurutnya, adalah turunnya kapasitas produksi beras nasional yang konsisten terjadi dalam 5 tahun terakhir.
Harga beras yang terus tinggi dan bahkan kini semakin bergejolak, sebenarnya telah terjadi sejak pertengahan tahun 2022, sehingga menjadi absurd jika menyalahkan El-Nino semata atas hal ini. Sebab kenaikan harga beras yang terus terjadi dalam 1,5 tahun terakhir ini, bagi Yusuf memperlihatkan adanya masalah struktural yang serius.
Kenaikan harga beras dalam 1,5 tahun terakhir ini sangat kuat sampai-sampai panen raya di Maret – Juni 2023 dan impor beras sepanjang 2023 yang menembus 3 juta ton tidak mampu meredakan kenaikan harga beras ini.
Kenaikan harga beras yang konsisten dalam 1,5 tahun terakhir secara jelas menandakan bahwa ada masalah dalam kapasitas produksi beras nasional. Itu mengindikasikan adanya pasokan beras lebih rendah dari permintaan pasar.
Produksi beras kita stagnan dalam 5 tahun terakhir, dengan kecenderungan menurun, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,5 juta ton pada 2022. Terakhir pada 2023 produksi beras anjlok, diperkirakan hanya 30,9 juta ton.
Solusi Jangka Pendek
Dengan kondisi produksi beras Indonesia yang cenderung menurun, menurut Yusuf, tidak mengherankan bila impor beras pada 2023 menembus 3 juta ton, tertinggi dalam 25 tahun terakhir sejak impor beras 4,75 juta ton pada 1999. Maka, harus ada langkah drastis dalam kebijakan perberasan nasional untuk meningkatkan produksi beras dalam jangka pendek.
Pertama adalah menyelesaikan masalah kelangkaan beras di tingkat ritel, terutama di ritel modern. Kelangkaan pasokan beras yang berlarut-larut berpotensi akan mendorong panic buying sehingga akan membuat situasi semakin sulit dikendalikan.
CBP di Bulog selayaknya diprioritaskan untuk mengintervensi pasar secepatnya agar tidak ada lagi kurang pasokan beras di pasar.
“Kebijakan HET selayaknya direvisi, bahkan dihapus. Kebijakan HET hanya layak diterapkan untuk beras impor yang ada dalam penguasaan Bulog. Sedangkan untuk produksi domestik seharusnya tidak perlu ada HET. Kebijakan HET yang kaku merugikan petani yang selalu menghadapi kenaikan biaya produksi mulai dari pupuk, benih, biaya sewa lahan hingga upah buruh tani,” kata Yusuf
Kedua, secepatnya menyelesaikan masalah ketersediaan pupuk secara efektif. Hal krusial di sini adalah mentransformasi subsidi pupuk. Caranya dengan memberikan subsidi pupuk dalam bentuk uang tunai ke petani secara langsung. Tujuannya agar petani memiliki pilihan menggunakan dana untuk membeli pupuk pabrik atau memproduksi sendiri pupuk organik.
“Petani memiliki kemampuan untuk memproduksi pupuk organik yang sebenarnya lebih ramah lingkungan, namun membutuhkan adaptasi dan proses yang bertahap, karena itu dukungan pembiayaan menjadi krusial,” kata Yusuf.
Berikutnya adalah secepatnya menghentikan alih fungsi lahan sawah dan mengembangkan family farming terutama di Jawa.
Masifnya pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional (PSN) dalam 1 dekade terakhir terutama di Jawa telah mendorong konversi lahan sawah secara besar-besaran.
Produksi beras nasional turun secara sederhana karena sawahnya hilang dan semakin berkurang akibat konversi. “Kebijakan mendorong food estate di luar Jawa sebagai kompensasi atas hilangnya sawah di Jawa adalah kebijakan salah arah dan beresiko tinggi terhadap ketahanan pangan nasional,” ucap Yusuf dengan tegas. (Aji)